Pages

Jumat, 04 September 2015

One Day Before You Go

EDITED BECAUSE SOME FCKN REASON:') sedih:')

Dan akhirnya lembaran skenario Tuhan tentang kebahagiaanku terbuka lagi setelah lama aku menanti. Ada rasa yang meluap-luap di dalam hati yang telah lama tak merasakannya. Mungkin akan banyak yang heran ketika tahu apa yang sebenarnya aku rasakan, tapi, bukankah kau akan merasa begitu bahagia jika merasakan sebagian dari surga?
Tidak, tidak. Aku belum mau mati saat ini. Aku hanya akan menghabiskan hari-hari liburku di kota lamaku. Aku rasa akan banyak yang bertanya, ‘hanya itu saja?’. Sungguh, jangan pernah tanyakan ‘hanya itu saja?’. Rasakan apa yang aku rasakan dulu, pasti tak akan pernah terucap kalimat tanya itu. Memikirkan kata tanya itu saja tidak, apalagi mengucapkannya.
Bukan hal baru lagi memang jika aku menghabiskan liburanku di kota lamaku. Satu atau dua bulan sekali aku sering mengunjunginya walau hanya dua atau tiga hari saja. Tapi liburan kali ini berbeda. Bayangkan saja, satu bulan penuh aku akan menginjakkan kakiku di kota lamaku. Kota lamaku bukanlah kota Paris, London, Dubai, Sydney, atau kota-kota raksasa lainnya. Kota lamaku hanyalah sebuah kota kecil di tengah pulau terpadat di Indonesia. Kota yang berada di dekat lereng gunung yang tenang dan tidak terlalu jauh dengan lautan di selatan. Kota yang punya sebutan Kota Satria, tapi Satria bukanlah nama kota ini.
Isi kota lamaku memang tak seindah dan semegah kota-kota raksasa yang kusebutkan tadi, tapi kota ini menyimpan begitu banyak hal-hal yang jauh lebih indah dari kota-kota besar tadi. Hal-hal indah yang mungkin hanya aku yang bisa merasakannya. Keramahan dan kesopan santunan orang-orangnya, keindahan alamnya yang masih asri di pinggiran kotanya, cuacanya yang bersahabat dan udaranya yang sejuk, kekhasan kulinernya yang selalu membuat perutku meronta, dan banyak lagi hal-hal yang membuat kota kecil ini terasa seperti sebagian dari surga bagiku. Dan, satu hal yang membuatku tak bisa lepas dari kota kecil ini, semua kenanganku saat aku masih di kota kecil yang sudah tak lagi ku tinggali selama lima tahun ini.
**
“Jadi, besok lo mau balik ke kota lama lo?” tanya Aldi, membuka percakapan setelah aku dan dia menghabiskan makanan di suatu restoran.
“Iya kalo gua boleh balik ke kota lama gua terus tinggal di sana lagi sih gua mau banget.” jawabku. Aku selalu mengatakan harapan yang yang tak akan pernah menjadi kenyataan.
“Eh, liburan maksudnya. Lo beneran sebulan penuh di sana?”
“Enggak apa-apa kan?”
“Ya enggak.”
“Serius ih. Ah, lo mah suka bohong.”
“Iya serius. Percaya sama gua. Ntar gua nyusul ya ke sana, hari Sabtu-Minggu.
“Okay. Makasih ya. Makasih banget. Sabtu-Minggul tanggal 1-2 Juni?”
“Kok makasih? Iya 1-2 Juni.”
“Ya makasih aja, makasih udah izinin gua kembali ke habitat asal gua, tempat yang kaya sebagian dari surga buat gua.”
“Lagian kan lo udah lama enggak ke sana kan? Terus gua mau ke sana juga.”
Aku mengangguk.
“Udah jam 5, lo nggak kesorean? Besok kan lo pergi jam 9. Tiati, ya, besok.”
“Iya. Ya, udah, ayo balik.”
Aldi mengantarku sampai ke rumah. Aku berpamitan dengan satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa sedih sekaligus senang di sini. Pasti aku akan merindukan Aldi saat aku di sana nanti. Besok pagi, aku akan memulai hari-hariku di sana selama satu bulan. Sambil menunggu hari berganti, aku memikirkan apa saja yang akan kulakukan di sana. Memikirkannya saja sudah bahagia, apalagi melakukannnya. Sampai akhirnya aku terlelap.
Hari esok telah datang. Semakin terang sinar mentari, semakin jauh jalan yang kutempuh. Dari fajar menyingsing sampai tengah hari berlalu, akhirnya aku sampai di kota kecilku ini. Sejuk. Mentari tetap bersinar terang di langit biru yang berhiaskan gumpalan awan putih. Tetapi, suhu di kota ini sangat bersahabat.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memandangi langit-langit kamarku. Aku menelfon Aldi, mengabarkan jika aku sudah sampai di kota kecilku ini. Sekaligus melepas rindu dengannya. Dan aku mulai menikmati detik demi detik yang kulalui di kota kecilku ini. Aku ingin bertemu dengan sahabat-sahabatku. Tak perlu semuanya, aku hana sangat ingin bertemu dengan Inne, Indi, Yeva, Selsa, Ozy, dan Kak Tian. Mereka berenam adalah orang-orang yang berhasil membuatku tidak bisa melepaskan diriku dari kota kecilku ini.
**
Akhirnya hari dimana aku bisa bertemu dengan sahabat-sahabatku di kota kecilku ini telah datang. Aku dan sahabat-sahabatku kembali melakukan kebiasaan kita saat aku masih di sini dulu. Tak ada satu rumah kita yang terlewat dikunjungi. Seperti biasa, tempat kita berkumpul pertama kali adalah rumah Inne. Rumahnya memang paling strategis di antara kita.
Sebetulnya aku membawa mobil dan memarkirkannya di halaman rumah Inne. Tapi karena kita ingin bernostalgia, kita menggunakan motor. Seperti tahun-tahun kemarin saat aku belum bisa menggunakan mobil. Petualangan kecil kita hari ini dimulai dari rumah Inne, kemudian ke rumah Yeva, setelah itu ke rumah Indi, rumah Selsa, dan terakhir rumahku.
Aku, Inne, Yeva, Indi, dan Selsa. Kita berlima sudah seperti keluarga. Tak pernah lupa satu sama lain sekalipun jarak dan waktu menjadi pembatas antara kita berlima. Selama kita bertemu tadi, kita saling bertukar cerita satu sama lain. Dari mulai cerita yang membuat gelak tawa, sampai cerita yang membuat mata kita berair. Hanya dengan merekalah aku bisa tertawa dari lubuk hatiku yang paling dalam. Hanya dengan mereka juga aku bisa menuangkan semua kesedihanku dengan air mata, dan mereka mengerti.
Kudengar dari mereka, Kak Tian sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang bernama Rio. Kalau begini, pasti semakin sulit untuk menemuinya. Lalu, kusempatkan untuk mampir ke rumah Kak Tian sebentar. Kulihat sebuah keluarga kecil yang harmonis. Rio sangat lucu, wajahnya mirip seperti Mamanya yang cantik. Dan ternyata, sedang ada Andra, adik Kak Tian yang seumuran dengan kita di rumah itu. Lalu, kulihat reaksi Selsa saat melihat Andra. Ya, Andra adalah orang yang pernah menjadi pengisi hati Selsa lima tahun yang lalu.
Bukan Kak Tian namanya kalau tidak bertanya tentang Ozy padaku setiap kali bertemu denganku. Sebenarnya aku sudah menghubungi Ozy dari minggu lalu, tapi tidak ada respon. Kak Tian mengatakan, Ozy memang sedang sibuk dengan band barunya, jadi tidak sempat untuk melakukan beberapa hal lain. Kalau begitu, mungkin aku bisa bertemu dengan Ozy lain waktu. Tapi, kapan lagi? Haruskah aku tetap menunggu selama itu?
**
Senja di hari Jumat ini hampir usai, mentari seolah mengucapkan selamat tinggal pada hari ini. Aku selalu menikmati langit senja di sini, apalagi hari ini cuaca cerah. Langit berwarna oranye, merah jambu, dan biru serta awan keunguan membuatku tersenyum saat melihatnya. Tiba-tiba ponselku berbunyi, Aldi menelfonku. Dia berkata jika Sabtu pagi dia sudah berada di sini karena dia berangkat malam nanti.
Sesampainya Aldi di sini, aku menemuinya di hotel tempat dia menginap. Lalu memintanya istirahat dulu. Kemudian setelah jam 12, aku dan dia mengisi waktu dengan berjalan-jalan memutari kota kecil ini sampai malam hari. Lalu aku pulang dan dia kembali ke hotelnya. Hari kedua, kita melanjutkan jalan-jalan kemarin. Hampir tengah hari, kita pergi ke sebuah kafe untuk mengisi perut.
Seperti melihat suatu hal menarik yang baru kulihat untuk pertama kalinya, tatapan mataku terpaku pada seseorang dengan kaos hitam lengan panjang dan celana jeans hitam. Dia sedang berdiri di dekat pintu ruangan khusus untuk merokok. Aku tidak bisa mengenali wajahnya dengan jelas karena dia berdiri menyamping dan jarak pintu itu dengan tempatku duduk cukup jauh. Tapi, dia terlihat sangat familiar. Siapa dia?
“Lo liatin apa sih?” tanya Aldi, mengalihkan perhatianku dari orang itu.
“Eh, em… Engga. Cuma liat-liat aja, terus kayanya gua liat temen gua. Tapi nggak tau deh, salah liat kali.” jawabku.
“Oh. Cowo apa cewe?”
“Cowo.”
Aldi terdiam.
“Yah, Al. Gua cuma liat doang, terus belum tentu bener itu temen gua. Baper lo mah.”
“Enggak. Biasa aja.” jawab Aldi datar.
“Ya udah, jangan bete.”
“Enggak bete, Karin.”
“Kalo temen gua beneran, gua mau buktiin sama lo kalo cowo asli sini tuh nggak kaya apa yang ada di otak lo.”
“Ya, udah, mana temen lo?”
“Lo yakin mau ketemu sama temen-temen gua sekarang? Udah hampir jam satu loh. Lo jam empat balik. Nggak mau ketemu lebih lama lagi sama gua di sini, cuma sama gua?”
“Iya, deh.”
Aku dan Aldi kemudian kembali ke hotel tempat Aldi menginap semalam. Lalu membantu Aldi membereskan barang-barangnya. Waktu sangat cepat berlari, jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Aldi berpamitan denganku. Aku mengatakan ini padanya, sudah seperti yang aku katakan beberapa tahun yang lalu, kalau Aldi pasti akan ke sini dan kita pasti akan jalan-jalan di sini hanya berdua. Aldi mengiyakan. Saatnya Aldi kembali ke kotanya, saatnya aku kembali ke rumahku.
Seperti sore-sore sebelumnya, aku selalu menyaksikan mentari yang terbenam di barat. Senja memang telah beranjak pergi, tapi bayangan orang yang kulihat di kafe tadi tak kunjung beranjak pergi dari pikiranku.
**
Hari ini masih pagi, orang-orang rumah sudah sibuk dengan rutinitasnya masing-masing. Tak ada hal yang bisa aku lakukan pagi ini. Aku mencoba bermain dengan pena di atas buku sketsaku, tidak ada ide. Menonton TV, tidak ada acara menarik. Tidur lagi? Sepertinya hanya buang waktu saja. Jarum jam menunjuk angka 9. Aku mencoba menelpon Aldi, tidak ada jawaban. Mungkin dia belum bangun. Ah, sudahlah. Aku hanya duduk diam di sofa, memutar-mutar ponselku, menunggu siang, dan membuang waktu.
Tiba-tiba terbesit di pikiranku suatu hal yang hampir aku lupakan. Rumah itu. Rumah yang pernah kukunjungi, mungkin hanya tiga kali, atau lebih. Tapi tiap kali aku ada di rumah itu, aku menikmati setiap dektiknya. Rumah itu tentu bukan rumahku, tapi aku selalu nyaman saat berada di rumah itu. bukan aku namanya jika lebih nyaman berada di rumah orang daripada di rumahku sendiri. Akhirnya, kuputuskan untuk menghabiskan pagiku di hari ke tujuh belas ini untuk pergi ke rumah itu.
Seiring deru mesin mobil, seiring cepatnya roda yang berputar, semakin dekat jalan menuju rumah itu, semakin pikiranku terkuasai oleh memori tentang rumah itu. Aku mencoba untuk tetap pada konsentrasiku sampai akhirnya aku sampai di samping rumah itu. Rumah itu masih berkeramik merah marun, tetapi pagarnya sudah lebih tinggi dari terakhir kali aku melihat rumah itu, sekitar tiga tahun yang lalu.
Rumah itu sepi, mungkin penghuni kamar paling depan di rumah itu masih terlelap. Teringat dalam memoriku, dari kamar paling depan itu sering terdengar alunan musik keras. Lima tahun yang lalu, saat penghuni kamar paling depan rumah itu memutar musik keras dengan volume yang terlalu keras, lalu ayahnya menegurnya karena ada aku dan sahabat-sahabatku di rumah itu. masih teringat juga saat jemari Kak Tian memetik senar gitar, membuat melodi dengan ritme cepat mengalun, lalu aku dan Ozy menyanyikan bait demi bait lagu di teras rumah itu. Sederhana, biasa, namun membawa kesan yang tak dapat hilang dari memori.
Hampir setengah jam aku di sini, duduk terdiam di dalam mobil yang kuberhentikan tepat di samping rumah itu, membiarkan memori-memori menguasai pikiranku, membiarkan jiwa ini tenggelam dalam lautan kenangan yang terbentuk lima tahun yang lalu. Mungkin sudah cukup aku membiarkan waktuku terbuang di tempat ini. Tapi, bukankah waktu yang kau nikmati saat membuangnya bukanlah waktu yang terbuang sia-sia?
**
Hari ini hari Senin. Hari ini juga Yeva berulang tahun. Umur Yeva sudah dua dekade, itu artinya aku mengenal Yeva sudah hampir delapan tahun. Aku, Inne, Indi, dan Selsa sudah menyiapkan kejutan untuk Yeva beberapa hari yang lalu. Dan kita senang karena kejutan hari ini berhasil. Seperti lima tahun yang lalu saat aku masih di sini.
Setelah itu, kita bercakap-cakap di ruang tamu rumah Yeva yang sudah seperti markas kita. Bukan kita namanya jika setiap bertemu tidak ada yang dibicarakan. Dan tiba-tiba saja arah percakapan menjadi membahas tempat yang ingin dikunjungi.
“Gua pengen ke Nusakambangan deh.” kataku.
“Mau ngapain ke sana?” tanya Indi.
“Ya, jalan-jalan aja. Liat laut, nikmatin pasir putih, siapa tau ada yang nemu teripang lagi. Haha.”
“Lah? Karin, lo cuma mau nemu teripang?” tanya Inne.
“Yakali, Ne. Ya enggak lah, gua lagi kangen aja sama apa yang ada di sini, sama apa yang pernah gua datengin pas gua masih tinggal di sini dulu. Kan jarang-jarang gua bisa sebulan di sini.”
“Lagian ngapain pindah? Kan lo jadi jauh sama kita.”
“Iya, sih. Maaf ya. Maaf banget. Gua enggak bisa nepatin janji gua. Ini udah lima tahun, gua janjinya cuma tiga tahun di sana. Tapi kenyataannya malah kaya gini. Ya, semuanya karena apa yang waktu itu gua jelasin ke kalian.”
“Udah jangan sedih, Rin. Lo kan masih bisa sering balik ke sini, ya kaya sekarang ini.” Yeva menenangkanku.
“Eh, gimana jadinya? Lo mau ke Nusakambangan? Gua sih ayo-ayo aja. Mau kapan?” tanya Indi.
“Minggu depan?” jawabku.
“Okay minggu depan ya, hari apa? Sabtu? Minggu?” tanya Inne.
“Ih, Sabtu-Minggu gua enggak bisa. Kalo Senin?” tanya Selsa.
“Iya gua bisa kok. Ya, udah, Senin ya?” tanyaku.
“Okay. Kumpul di rumah gua aja, kaya biasa. Jam 9 ya, jangan ngaret.” kata Inne.
**
Seperti yang direncanakan minggu lalu, aku dengan sahabat-sahabat terbaikku akan pergi ke tempat yang indah. Pagi ini, aku bergegas pergi ke rumah Inne, markas besar kita. Sepertinya aku sangat tidak sabar. Aku sampai di depan rumah Inne. Begitu aku turun dari mobil, Inne keluar sebentar dan langsung menyuruhku masuk, kemudian dia masuk ke dalam rumah lagi. Karena rumah Inne sudah seperti rumahku sendiri, aku langsung masuk saja ke rumahnya. Tapi, begitu aku sampai di depan pintu, ada seseorang yang langsung menarik perhatianku. benarkah yang kulihat saat ini? Benarkah itu adalah dia?
“Ozy?” antara kaget, senang, sedih, tak percaya, dan rasa yang sulit dijelaskan, aku melihat seseorang yang mengenakan kemeja coklat kemerahan dan celana jeans hitam duduk di sofa ruang tamu rumah Inne. Aku terdiam di depan pintu beberapa detik, meyakinkan diriku bahwa apa yang kulihat adalah suatu kenyataan. Aku tak peduli dengan raut mukaku saat ini, pasti aneh. Menurut bahasa kekinian, saat ini dapat disebut awkward moment.
“Eh, Karin.” sapa Ozy. Dia tersenyum. Senyumnya masih sama seperti dulu. Iya, itu memang benar Ozy. Suaranya juga tak jauh berbeda seperti saat aku bertemu dengannya tiga tahun yang lalu.
Tiba-tiba aku teringat lima tahun yang lalu. Dulu, Ozy sering menemuiku satu jam sebelum aku pergi. Dan kali ini, sehari sebelum aku pergi. Ozy semakin membuatku sulit untuk meninggalkan kota ini.
“Udah jangan berdiri di situ, duduk sini.” suara siapa ini? Sepertinya baru aku dengar. Aku melihat ke sebelah Ozy. Oh, suara Aska, saudara Ozy yang juga sahabatku.
Aku bersalaman dengan mereka berdua. Duduk. Kemudian hening. Akhirnya Aska membuka percakapan.
“Karin, pulang kapan?”
“Hampir sebulan yang lalu.” jawabku datar.
“Ooh, udah lama dong?” tanya Aska. Pertanyaan yang sangat retoris.
“Iya.”
“Karin, maaf nih baru bisa ketemu sekarang. Biasa lah orang sibuk. Hehe.” kata Ozy.
“Sibuk apaan? Susah banget dihubungi sehari, eh, seminggu dah, masih enggak apa-apa. Nah ini hampir tiga tahun. Nggak ngerti lagi gua.” sepertinya aku terlalu frontal kali ini. Tapi tidak apa-apa, kapan lagi aku bisa bicara langsung dengan Ozy. Menghubunginya saja susah, apalagi bertemu langsung.
“Tapi gua sibuk beneran, sih. Maaf banget, Rin.”
“Masa?” aku sedikit tidak percaya.
“Ih, Karin. Beneran, Rin. Tanya aja Aska.”
“Iya Rin. Serius. Dua minggu yang lalu aja abis perform di Society.” kata Aska.
“Society? Society Café? Kapan?” tanyaku.
“Pas tanggal tiga.” jawab Ozy.
“Oohh.” pantas saja saat aku ke kafe itu dua minggu lalu aku seperti melihat Ozy. Tapi, hari itu bukan tanggal tiga. “Dua minggu lalu gua ke sana, pas hari minggu, tanggal dua. Tapi kok gua kaya liat lo, ya?”
“Oh, iya. Tanggal dua gua emang ke sana bentar. Pas sore kan?”
“Berarti emang beneran elo.”
“Kok gua enggak liat elo?”
“Ya mana gua tau.”
“Eh, iya. Mau ke Nusakambangan kan hari ini?” Ozy mengalihkan pembicaraan.
“Iya, kenapa?” aku rasa mungkin Ozy ingin ikut denganku nanti. Semoga saja. Langit akan terasa lengkap jika ada awan. Waktuku di sini juga akan lengkap jika ada Ozy.
“Gua boleh ikut kan?”
“Siapa yang larang?” aku tidak bisa menyembunyikan senyumku.
“Inneeeee! Kariiinnnnn!” terdengar suara Yeva dari luar. Yeva dan Indi ada di depan rumah ini.
“Lah? Kok, Ozy ada di sini?” tanya Indi. “Eh, ada Aska juga.”
“Iya lah ada.” jawab Ozy.
“Ih, tinggal Selsa doang yang belom dateng?” tanya Inne sambil membawa beberapa kemasan makanan ringan dari belakang.
“Iya nih Selsa lama, udah berapa tahun kalo kumpul datengnya paling lelet.” jawab Yeva.
“Telfon gih, udah jam 10 makin siang makin panas ntar.” usul Indi.
“Sini gua telfonin.” kata Inne.
“Ini gimana ceritanya kok lo berdua bisa ada di sini? Mau ikut?” tanya Yeva ke Ozy dan Aska.
“Iya lah gua mau ikut, kalo Ozy mah mau ketemu Karin.” jawab Aska.
“Dih, cerdas kelewatan lo, Zy. Karin besok mau pulang juga.” kata Indi.
“Hah? Pulang? Pulang ke sana?” tanya Ozy.
“Iya lah pulang ke sana, mau pulang kemana lagi? Gua belom mau pulang ke Rahmatullah.” jawabku.
“Yah, lo mah engga bilang-bilang.”
“Gimana mau bilang, lonya juga kaya ditelan bumi aja, dihubungin susah banget.”
“Hai! Hai! Hai! Ayo udah siang berangkat.” tiba-tiba terdengar suara Selsa.
“Udah di sini toh, pantes gua telfon nggak diangkat.”
“Ih, kok ada Ozy sama Aska?” tanya Selsa.
“Udah ntar aja Aska yang ceritain. Udah siang yuk, ah.” kata Inne.
Kita bergegas masuk ke dalam mobilku. Tiba-tiba Ozy berdiri di depan kaca pintu depan mobilku. Mengisyaratkan agar aku membuka kaca pintu.
“Yakin lo nggak mau gua yang bawa mobil lo? Biar lo bisa liat-liat kanan kiri jalan, siapa tau nemu apa gitu.”
“Emang lo bisa bawa mobil?” tanyaku ragu. “Emang gua mau nemuin apaan?”
“Ih, enggak percaya sama gua.”
“Iya deh. Tapi awas aja kalo sampe mobil gua nabrak pohon pas lo bawa.”
“Iya sih, ntar juga bakal nabrak pohon. Nabrak pohon kencur.”
“Lucu lo, Zy.” aku menahan tawaku.
Kita berangkat. Sepanjang perjalanan aku dan Ozy sengaja memutar musik keras. Tidak peduli hafal atau tidak hafal lirik lagunya, kita tetap menyanyikan sebagian lagu-lagu itu. Menikmati setiap dentuman drum yang cepat dan melodi gitar yang terdistorsi. Tak peduli beberapa kalimat protes yang diucapkan oleh Inne, Yeva, Indi, atau Selsa. Sungguh, aku sangat menikmati dua jam perjalanan ini.
Sesampainya di pantai Cilacap, kita bergegas menaiki perahu untuk menyeberang lautan menuju ke pulau Nusakambangan. Seperti enam tahun yang lalu, tapi tidak dengan Ozy, tidak juga dengan Inne, Yeva, Indi, Selsa, dan Aska. Tapi, kali ini, aku bersama mereka. Rasa bahagia meluap-luap di hatiku. Bagaimana tidak? Momen seperti ini sangat jarang terjadi. Lalu kita sampai di Nusakambangan, kita harus berjalan cukup jauh untuk sampai ke pantai kecil yang langsung menghadap laut lepas selatan.
Tak ada tempat lain yang seindah pantai bagiku. Apalagi, pantai dengan pasir putih. Birunya air laut, bebatuan karang yang sedikit lebih tinggi dari ombak yang menyapunya. Kekhasan suara deburan ombak yang tak pernah bosan kudengarkan, yang membuatku selalu merasa tenang dan ada sensasi tersendiri yang sulit untuk kujelaskan. Sungguh indah.
Aku membiarkan jiwaku hanyut dalam kenyamanan ini sejenak. Membiarkan semua hal negatif yang ada padaku dan hidupku hanyut bersama ombak yang menyapu pasir putih. Aku tidak tahu apa nama pantai ini. Yang pasti, ini adalah sebuah pantai kecil yang menghadap laut lepas di selatan. Kedua mataku menatap lautan lepas di depanku yang menjadi bagian dari samudera Hindia ini sampai ke horison yang membatasi biru laut dan biru langit.
Bukan kita namanya jika tak mengabadikan momen-momen seperti ini dengan lensa kamera. Sejak kaki kita menginjak pasir putih ini, sampai sekarang–mungkin sudah satu jam lebih, lensa kamera tak lepas dari kita. Lalu kita duduk di atas butiran pasir putih.
“Zy, kenapa de javu ya. Lima tahun yang lalu, lo ketemu gua sejam sebelum gua pergi. Sekarang sehari sebelum gua pergi. Ya mendingan sih sebenernya, tapi tetep aja kenapa harus kaya gini.”
“Ya, kan, kali ini gua lagi banyak kerjaan, Rin. Maaf sumpah, Rin.”
“Iya gua maklumin, gua maafin kok.”
“Seenggaknya gua masih bisa ketemu lo kan?”
“Iya, gua masih bisa ketemu lo.”
“Betah, Rin, di sana?”
“Ya, betah. Betah karena terpaksa. Maaf ya, gua enggak bisa nepatin janji gua. Gua janjinya gua di sana cuma tiga tahun, tapi kenyataanya…” aku berhenti sejenak, menahan emosiku yang tiba-tiba meluap. Mataku terus mengarah ke lautan lepas, sambil menahan air mataku. “Kenyataannya sekarang udah lima tahun gua di sana. Balik juga sebulan doang kaya gini. Gua sih maunya selamanya tinggal di sini. Tapi ya, sebenernya gua bisa tinggal di sini sampai kapanpun, tapi gua harus ngorbanin satu hal.”
Satu hal: Aldi. Iya, hanya satu orang Aldi. Itulah yang harus aku korbankan. Tapi Aldi telah terlalu banyak membantuku tetap bertahan di sana, di kota baruku. Walaupun Aldi tak jarang membuat air mataku terbuang sia-sia. Seperti berada di antara air dan api.
“Satu hal apa?” Ozy sepertinya benar-benar menyimak penjelasanku.
“Kalo diceritain mah sedih, Zy.” aku tak peduli suaraku sudah terdengar seperti orang menahan tangis. “Lagian lo sih, ngapain coba. Besok gua udah mau balik. Hari ini lo baru ada di depan muka gua. Banyak banget yang mau gua ceritain ke lo, Zy.”
“Gua nggak tau kalo lo mau pulang besok, Rin.” kata Ozy pelan.
Ozy menatapku. Aku menatap lautan lepas. Rasanya aku ingin berteriak dan membiarkan suara deburan ombak mengalahkan teriakanku. Lalu kulihat Ozy menuliskan sesuatu di atas pasir putih dengan jarinya. I’m sorry. Aku membacanya, lalu mengangguk. Kemudian dia menulis lagi. Next time, I’ll never meet you one hour before you go, or one day before you go. Aku rasa, Ozy sedang melihatku, tapi aku tidak mau dia melihat mataku yang berair. Aku terus menunduk dan membalasnya, really?. Lalu Ozy membalas lagi, I’ll try. I’ll meet you from the first day. Kemudian aku membalasnya dengan menggambar emotikon :). Setelah itu, hening.
Suara deburan ombak mengisi keheningan di antara aku dan Ozy. Beberapa detik, beberapa menit. Waktu kubiarkan berlalu seperti pasir putih yang tersapu ombak, terbawa ke dasar laut yang lebih dalam, kemudian tergantikan oleh pasir putih lainnya. Sampai mataku sudah tidak berair lagi, aku mencoba untuk membuka percakapan lagi.
"Eh, iya, Zy. Dua minggu yang lalu, pagi-pagi gua lewat di depan rumah lo."
"Kenapa enggak mampir?"
"Gue udah berhenti lama di samping rumah lo, tapi rumah lo sepi banget. Lo masih tidur?"
"Ngapain berhenti doang? Yah, Rin. Kaya lo nggak tau gua aja. Lain kali mampir aja, pintu rumah gua selalu terbuka lebar kok buat lo. Bilang gua dulu mau ke rumah gua biar gua bangun. Hehe."
"Iya kalo gua dapet libur banyak terus ke sini lagi ya. Lagian lo susah banget dihubungin."
"Besok-besok gua udah gampang di hubungin kok. Lo tenang aja. Eh, iya, lo berhenti di samping rumah gua lama?"
"Setengah jam ada kali. Kurang kerjaan banget gua. Hahaha"
"Pea dah. Hahaha."
“Zy, lo sibuk ngeband sekarang? Band lo baru?”
“Iya, Rin. Udah dua tahun gua fokus sama band gua yang baru. Eh, malah banyak yang suka sama band gua. Ya, syukurlah. Lumayan tiap ada gig sering diundang ikutan. Rencananya sih, bulan depan mau nyoba bikin single sendiri. Doain aja biar bisa lancar.” jelas Ozy.
“Lo gitaris apa vokalis?”
“Gitaris.”
“Kenapa enggak vokalis? Suara lo kan bagus.”
“Ah, gua lebih suka sama gitar.”
“Lebih suka sama gitar apa suka malu kalo nyanyi keras-keras di depan orang banyak? Iyakan?” tanyaku sedikit meledek Ozy.
“Ya, ya, itulah.” Ozy sedikit salah tingkah.
“Hahaha.”
Ozy sekarang sudah sedikit berbeda dibandingkan Ozy yang kulihat tiga tahun yang lalu. Aku rasa dia sudah sedikit lebih tinggi. Postur tubuhnya juga sudah berbeda. Jalan pikirannya juga sudah lebih dewasa. Tapi, sifatnya yang sedikit pemalu, cara bicaranya, dan tidak jelasnya masih sama seperti dulu.
“Eh, Zy. Kalo gua bantu bikinin lagunya boleh nggak?”
“Siapa yang ngelarang? Boleh-boleh aja kali.”
“Rin, lo lengkapin band gua dong. Main keyboard atau synth.”
Ozy tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya padaku di sana, dan mungkin tidak akan pernah tahu. Karena aku tidak akan pernah mengatakannya. Kembali tinggal di sini adalah suatu ketidakmungkinan yang terus kuharapkan. Sama halnya seperti ikut bermain band lagi. Entahlah, mungkin memang tidak bisa lagi, atau mungkin kebahagiaanku ini dirampas oleh orang lain. Sudahlah, yang pasti sudah tidak ada harapan lagi. Kecuali jika Tuhan mengabulkan doaku. Semoga dikabulkan, secepatnya.
“Iya kalo gua tinggal di sini lagi.”
“Kalo gitu, gua ke Jakarta aja dah, sekalian debut nasional. Asik.”
“Debut langsung internasional aja. Nggak usah pake ke Jakarta-Jakartaan. Ribet. Lagian genre musik keras kaya gini lebih dihargai di negeri orang.”
“Yakali langsung internasional, emangnya ke luar negeri segampang itu apa? Tapi, kalo gua ke Jakarta kan seenggaknya gua bisa bareng sama lo.”
“Zy,” aku terdiam sejenak, merangkai kata-kata di otakku agar aku tidak mengatakan bahwa aku sudah tidak bisa ikut dalam semua macam band. Padahal, itulah hobiku yang paling membuatku bahagia. “Mending lo ke Bandung aja, abis dari situ langsung dah nyoba ke luar negeri.”
“Iya, gua coba dah nanti.”
Kita saling bertukar cerita sampai senja hampir datang. Kita pulang. Hari ini, kenangan tentang satu hari terakhir liburanku kali ini telah terbentuk. Di bawah langit berwarna oranye dengan awan keunguan, aku sangat bersyukur. Hari terakhir liburanku kali ini berakhir indah.
**
Aku tak punya segalanya, tapi aku seperti punya segalanya. Tak ada yang sempurna di dunia ini, tapi hidupku terasa sempurna. Semua itu karena orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku. Di kota Satriaku ini ada Ozy, Inne, Indi, Yeva, Selsa, Kak Tian, Aska, dan masih banyak lagi sahabatku yang lain, tak bisa kusebutkan satu per satu. Di kota baruku, ada Aldi dan sahabat-sahabatku yang lain. Merekalah yang membuat hidupku terasa sempurna.
Memori tentang kebahagiaanku di kota ini terbentuk lagi. Sudah pasti aku takkan pernah bisa melupakannya. Aku kembali merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hatiku. Seakan-akan aku mendapat kembali setengah nyawaku yang pernah hilang. Ada satu ketidakmungkinan yang terus kuharapkan, jika aku dapat tinggal di kota kecil ini lagi, hidupku begitu sempurna.
Walaupun aku bertemu dengan Ozy satu hari sebelum aku pergi, setidaknya aku telah mendapatkan liburanku yang sempurna di tempat yang seperti sebagian dari surga ini. Dan lembaran skenario Tuhan tentang  kebahagiaanku berganti menjadi lembaran baru lain. Entah apa isi lembaran baru itu. Di dalam lubuk hatiku, aku berharap, semoga masih tentang kebahagiaanku lagi.

Senin, 29 Juni 2015

TRUTH. Wajib baca!

Kisah ajaib di siang suntuk saat jemput sekolah...

Azka "pa.. Tadi lomba renang.. I get urutan ke 5!!!"

Me "woooow I'm so proud of you.. You are amazing!!!!"

Azka "yeaaaaaay"

Ibu2 entah arisan di belakang "mas Ded.. Yang tanding kan per 6 orang.. Masak anaknya urutan ke 5 malah bangga.. Anak saya aja urutan ke 3 saya bilang payah... Nanti malas mas Ded..."

Me "Hahaha Iya yah... Wah saya soalnya waktu kecil diajari ayah ibu saya kalau tujuan renang itu Yah supaya gak tenggelam aja sih... Bukan supaya duluan sampe tembok.. Hehehe"

Ibu2 " ah mas Ded bisa aja... Jangan gitu mas.. Ngajar anaknya.. Bener deh nanti malas."

Me " hahah Azka gak malas kok mbak.. Tenang aja.. Kmrn math nya juara 3, catur nya.. Lawan saya aja saya kalah skrg.. Eh anw mbak.. Saya juga gak masalah punya anak malas.. Di hal yang dia gak bisa... Atau gak suka... Yg penting dia usaha... Drpd anak rajin tapi Stress punya ibu yg Stress juga marahi anaknya krn cuma dpt juara 3 lomba renang.... "

Ibu " hehehe... Mas saya jalan dulu Yah.."

Me " gak renang aja mbak?"

Senyap....

Ya ini kejadian benar dan tidak saya ubah ubah...

Apa sih yang sebenarnya terjadi secara gamblang...

Tahukah si ibu kalau Azka luar biasa di catur nya? (penting? NO... Sama dengan Renang..)

Atau Azka juga mendalami bela diri yg cukup memukau di banding anak seusianya...

Atau.. Azka.. Atau Azka...

Banyak kelebihan Azka..

Sama dengan kalian..

Banyak kelebihan yang kalian punya.. Artinya banyak kelemahan yang kalian. Punya juga..

Tapi apabila para orang tua memaksakan kalian sempurna di semua bidang dan menerapkannya dengan paksaan maka hanya akan terjadi 2 hal...

1. Si anak Stress dan membenci hal itu..

2. Si anak sukses di hal itu dan membenci orang tuanya (Michael Jackson contohnya)

Yuk kita lihat apa yang baik di diri anak kita.. (bila anda orang tua)

Yuk kita komunikasi kan apa yang kita suka (bila kita anak tersebut)

Mengajari dengan kekerasan tidak akan menghasilkan apapun.. Memarahi anak krn pelajaran adalah hal yang bodoh...

Saya sampai sekarang masih bingung mengapa naik kelas tidak naik adalah hal yang menjadi momok bagi ortu (kecuali masalah finansial)

Siapa sih yang menjamin naik kelas jadi sukses kelak?

Saya... Saya 2 kali tidak naik kelas... Yes... I am. Proudly to say..

Ayah saya ambil report.. Merah semua.. Dia tertawa.. "kamu... Belajar sulap tiap hari kan.. Sampai gak belajar yang lain.."

"iya pa"

"sulapnya jago... Belajarnya naikin Yuk.. Gak usah bagus... Yg penting 6 aja nilainya.. Ok?.. Pokoknya kalau nilai nya kamu 6.. Papa beliin alat sulap baru... Gimana?"

Wow... My target is 6.....

Not 8.. Not 9... NOT 10!!!! It's easy..... Its helping... Its good communication between me and my father.... Its a GOOD Deal... Dan Ibu saya? Mendukung hal itu.

Apa yang mereka dapat saat ini?

Anaknya yang nilainya tidak pernah lebih dr 6/7 tetap sekolah.. Kuliah... Jadi dosen Tamu .. Mengajar di beberapa kampus..

Oh.. Anaknya...

Become one thing they never imagine...

World Best Mentalist

(Merlin Award Winner : penghargaan tertinggi di seni sulap dunia) 2 kali berturut turut....

Apa Yang terjadi kalau saat itu saya dihukum... Dimarahi.. Di larang lagi bermain sulap?...

Apa? Maybe I be one of the people working on bus station... ( other Bad... Not Great)

Yuk stop Memarahi anak krn pelajaran nya... Karena ke unik an nya...

Kita cari apa yang mereka suka... Kita dukung..

U never know what it will bring them in the future... Might indeed surprise you...

dear .. Parents.

Sumber : www.thecorbuzier.com/blog/belajar-yang-kalian-suka

Selasa, 14 April 2015

Wiz Khalifa - See You Again Chord

                     Em   G             C                   G  
It's been a long day without you my friend
               Em               G                         C            G
And I'll tell you all about it when I see you again
                            Em  G                   C              G
We've come a long way from where we began
               Em              G                        C              G
Oh I'll tell you all about it when I see you again
                C             G
When I see you again

( Em  G  C G ) 

Damn who knew all the planes we flew
Good things we've been through
That I'll be standing right here
Talking to you about another path
I Know we loved to hit the road and laugh
But something told me that it wouldn't last
Had to switch up look at things different see the bigger picture
Those were the days hard work forever pays now I see you in a better place
How could we not talk about family when family's all that we got
Everything I went through you were standing there by my side
And now you gonna be with me for the last ride

                     Em   G             C                   G  

It's been a long day without you my friend
               Em               G                         C            G
And I'll tell you all about it when I see you again
                            Em  G                   C              G
We've come a long way from where we began
               Em              G                        C              G
Oh I'll tell you all about it when I see you again
                C             G
When I see you again

Em    G    C    G (2x)


( Em  G  C G )

First you both go out your way
And the vibe is feeling strong and what's
Small turn to a friendship a friendship
Turn into a bond and that bond will never
Be broke and the love will never get
And when brotherhood come first then the line 
Will never be crossed established it on our own
When that line had to be drawn and that line is what
We reach so remember me when I'm gone
How could we not talk about family when family's all that we got?
Everything I went through you were standing there by my side
And now you gonna be with me for the last ride

                   C          G               D
So let the light guide your way
C                      G                        D
Hold every memory as you go
                       C              G
And every road you take
         G -  D - Em - D - C
Will always lead you home

                     Em   G             C                   G  

It's been a long day without you my friend
               Em               G                         C            G
And I'll tell you all about it when I see you again
                            Em  G                   C              G
We've come a long way from where we began
               Em              G                        C              G
Oh I'll tell you all about it when I see you again
                C             G
When I see you again

Selasa, 07 April 2015

Serba-serbi Dreamcatcher

Gais and vroh *alaybusetdah* gue lagi seneng banget sama satu benda lucu ini, yup, dreamcatcher. Nah, kali ini gue posting tentang serba-serbi dreamcatcher.



Sejarah Dreamcatcher 
 
Dreamcatcher atau penangkap mimpi adalah sebuah kepercayaan asal penduduk pribumi Amerika (Indian). Beragam legenda-legenda mengenai asal usul dream catcher ini, menceritakan apa yang dapat dilakukan oleh si penangkap mimpi. Indian Lakota memercayai bahwa, mimpi yang baik ditangkap untuk menjadi bagian dari jaringan kehidupan, sementara mimpi buruk nantinya akan lolos begitu saja melalui lubang yang ada ditengah penangkap mimpi.

Berbeda degan suku Chippewa, Navaji, dan Ojibwe yang menyatakan bahwa jarring itu digunakan untuk menangkap mimpi buruk dan mencegahnya masuk kedalam impian sang empunya, sementara mimpi baik anak lolos melalui lubang ditengahnya. Penangkap-penangkap mimpi ini semuanya terbuat dari simpai dan urat jarring pohon willow. Biasanya penangkap mimpi ini akan digantungkan diatas tempat tidur. Penangkap mimpi tidak permanen digunakan, ketika sudah tumbuh dewasa penangkap mimpi ini biasanya diganti dengan yang baru, mengikuti siklus kehidupan siempunya.

Benda tersebut kerap kali dikaitkan dengan mimpi, namun sesungguhnya memiliki makna yang luas. Dream catcher ini tidak hanya berguna untuk menangkap mimpi baik atau buruk saja, namun lebih merupakan jimat yang dipercaya untuk memusatkan energi positif dan menghilangkan energi negatif.
Arti Lambang Dreamcatcher
Penangkap mimpi tradisional memiliki delapan titik tempat jaring menempel pada lingkaran, hal ini melambangkan delapan kaki laba-laba. Laba-laba melambangkan energi penciptaan kaum wanita, kebijaksanaan, dan pembelajaran. Dalam kebudayaan orang Indian, penangkap mimpi sangat penting untuk digantungkan di atas tempat tidur bayi supaya bayi terlindung dari mimpi buruk atau “angin jahat” (energi yang buruk). Penangkap-penangkap mimpi ini, kesemuanya dibuat dari simpai dan urat jaring pohon willow, tidak dibuat untuk dipakai selamanya. Ketika si anak tumbuh dewasa, penangkap mimpi ini biasanya diganti dengan yang baru untuk siklus kehidupan si anak berikutnya.
Meskipun gagasan tentang mimpi merupakan gagasan yang umum dikaitkan dengan dream catcher, tampaknya tujuan pemaknaan yang sesungguhnya dari penangkap mimpi ini lebih luas lagi. Legenda suku Lakota, misalnya, meyakini bahwa selama perjalanan kehidupan banyak kekuatan yang bisa menghalangi kesadaran atas Roh Besar. Keyakinan pada Roh Besar bisa membuat penangkap mimpi tidak hanya akan menangkap mimpi-mimpi baik namun juga visi, gagasan, dan peluang yang baik yang bisa membantu seseorang mencapai tujuan dan cita-citanya. Oleh karena itu, dream catcher tidak hanya berguna untuk tidur saja, namun lebih merupakan totem atau jimat yang dipercaya oleh sementara orang bisa memusatkan energi baik dan menghilangkan energi negatif.

Jumat, 20 Februari 2015

Tentang Yang Berharga

Ada yang pernah kehilangan sebagian besar kebahagiaan dan harapan yang dimilikinya.
Ada yang pernah kehilangan sebagian besar tawa dan impian yang dimilikinya.
Ada yang pernah kehilangan kesempurnaan hidupnya.
Itu seperti kehilangan setengah nyawanya.

Semua tahu, tak ada yang sempurna dalam semesta.
Tetapi, hidupnya tetap terasa sempurna baginya.
Dengan semua hal yang berharga di sekelilingnya.
Dengan impiannya yang tercapai, walau hanya sebagian.

Tiba-tiba saja semua kesempurnaan itu direnggut darinya.
Direnggut oleh hal yang tak pernah disukainya.
Direnggut oleh hal yang hanya mengecewakannya.
Direnggut oleh hal yang membuat tetesan air mata selalu membasahi pipinya.

Tetapi dia percaya, suatu saat nanti kebahagiaan dan harapan itu dapat kembali lagi padanya.
Kemudian menjadi nyata.
Walaupun itu sedikit demi sedikit.
Menyusun serpihan nyawa yang hilang menjadi utuh kembali.

Dan saat kebahagiaanya mulai kembali, bukankah hatinya merasa senang?
Bukankah setiap detiknya menjadi berharga?
Bukankah senyumnya tak lagi terpaksa?
Bukankah hidupnya kembali terasa sempurna?

Entah, hanya dia dan Tuhan yang mengerti.

Rabu, 04 Februari 2015

Cerita Dalam Sketsa



Sang mentari tak menunjukkan tatapan menyilaukannya dari ufuk barat sore itu. Langit kelabu menjadi atap diatas atap sekolah yang berdiri megah di kota besar itu. Satu persatu murid melangkahkan kakinya keluar sekolah untuk kembali ke rumah masing-masing. Kegiatan belajar mengajar hari itu memang telah usai, kecuali kelas 12 yang masih PM dan beberapa murid kelas 10 dan 11 yang melaksanakan ekstra kurikuler. Tapi, tak hanya mereka, Ara dan Nina belum keluar dari sekolah itu juga.
“Ara, aku harus kerjain ulangan susulan Bahasa Indonesia dulu. Kamu pulang duluan aja ya.” kata Nina sambil merapikan bukunya di sebuah bangku panjang yang berada di koridor yang telah sepi itu.
“Aku tungguin kamu aja, lagian aku males di rumah. Gapapa, serius.”  kata Ara.
“Beneran? Sendirian loh kamu di sini.”
“Iya serius, sekalian numpang wifi di sini.”
“Ya udah, aku nggak lama-lama banget kok. Tunggu ya,”
“Okey.”
Nina masuk ke kantor guru untuk meminta soal ulangan susulannya. Sementara Ara duduk di bangku sambil asik mengutak-atik handphonenya.
Nina adalah sahabat baik Ara sejak mereka SMA. Meskipun mereka berbeda kelas, mereka terlihat selalu bersama-sama saat di luar kelas. Ara adalah siswi kelas X IIS 1, sedangkan Nina adalah siswi kelas X IIS 3.
Ara terlihat bosan memainkan handphonenya. Dia menengok ke sekelilingnya. Sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat, tetapi jauh darinya. Dia menekan tombol kunci layar pada benda berwarna putih itu, kemudian dia membukanya kembali. Terlihat jelas angka 03:17 PM pada lock screen yang berbackground foto gambar dreamcatcher buatannya.
Tiba-tiba saja gambar dreamcatcher itu mengingatkannya pada sebuah benda di dalam tasnya. Ara langsung mengeluarkan benda yang berisi berbagai goresan indah pensil dan pena yang menari bersama tangan yang dianugerahi kemampuan menggambar itu. Ya, tentu saja benda itu adalah sketchbook milik Ara. Dia juga mengambil tempat pensilnya.
“Ini nih, penyibukkan diri yang nggak pernah bikin bosan. Menguras waktu tapi nggak bikin waktu terkuras sia-sia.” gumam Ara sambil mengeluarkan sebatang pensil dari tempat pensilnya. Senyum yang mengembang di wajahnya menyiratkan rasa senang saat dia melakukan penyibukkan diri itu, menggambar.
Dentingan jarum detik yang berlari mengiringi goresan-goresan indah yang terbentuk oleh pensil yang menari-nari di atas selembar kertas putih. Sepasang mata yang indah tertuju pada alur goresan pensil itu, menjaga agar alur goresan pensil itu tetap rapi. Entah apa yang Ara gambar, tapi keasyikkan sangat terasa dalam dirinya.
Sampai suatu suara merasuki telinga Ara, membuat tangan dan matanya berhenti mengatur alur goresan pensil itu. Bel sekolah pukul setengah empat sore berbunyi, menandakan PM kelas 12 usai. Suasana koridor mulai ramai dipenuhi oleh murid kelas 12 yang akan pulang. Tapi, Ara tidak terlalu menghiraukannya. Dia kembali menggambar, meskipun lalu-lalang murid kelas 12 di depannya sedikit mengganggu konsentrasinya.
 Tak disangka, ada lagi hal yang membuat Ara berhenti melakukan penyibukkan dirinya. Ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Kemudian memperhatikan Ara, dan melihat tepat ke mata Ara. Ara menyadari dirinya sedang diperhatikan. Dia menengok ke samping, kedua matanya mengatakan bahwa orang yang sedang memperhatikannya itu adalah Kak Farez.
Dua pasang mata yang indah itu saling bertatapan. Seakan-akan tak ada lagi yang perlu diperhatikan. Tapi hanya sejenak. Senyum mengembang pada wajah mereka saat kedua pasang mata mereka tak saling bertatapan lagi. Hal kecil yang berlangsung begitu singkat, tetapi begitu indah bagi mereka berdua.
Ara hampir salah tingkah, begitu juga Kak Farez. Tapi, Kak Farez selalu punya ide untuk meredakannya. Siswa kelas XII IPA 2 itu memang sudah kenal dekat dengan Ara sejak Ara masuk SMA.
“Gambar mulu, Ra. Gambar apa sekarang?” tanya Kak Farez.
“Ih, nanya, masa belum liat sih? Terus dari tadi ngapain?” Ara bertanya balik.
“Liatin mata kamu.” Kak Farez menatap mata Ara lagi.
“Jangan liatin lagi!” Tangan Ara menutup mata Kak Farez.
“Gapapa kali,” Tangan Kak Farez meraih tangan Ara, meletakannya, kemudian mencubit pipi Ara.
“Aw! Jangan nyubit ih!” Ara memukul pelan tangan Kak Farez.
“Lucu. Ngegemesin.” Kak Farez tersenyum. Ara diam, berusaha menahan senyumnya, tapi gagal.
“Kok sendirian? Sengaja? Atau nungguin aku?” tanya Kak Farez.
“Enggak, Kak. Lagi males di rumah, nungguin Nina susulan Bahasa Indonesia. Daripada bengong mending gambar.” jawab Ara.
“Oh, gitu. Aku temenin ya?” pinta Kak Farez.
“Kakak kalo mau pulang duluan juga gapapa kali, kan capek.”
“Nggak. Nggak mau. Nemenin kamu aja ya? Gapapa kan?”
“Gapapa sih, Kak.”
Mereka berdua terdiam sejenak.
“Oh, iya. Ra, ajarin gambar dong.” pinta Kak Farez.
“Mau gambar apa, Kak?” tanya Ara.
“Emm… Gambar mata kamu aja kali, ya.” jawab Kak Farez.
“Kok mata aku?” tanya Ara.
“Gapapa, kan?” Kak Farez bertanya balik.
“Iya gapapa sih, mata Kakak aja ya?”
“Ya udah deh, ajarin.”
“Iya Kakak.” Ara terdiam sejenak. “Oh, iya, Kakak pernah gambar sesuatu, gambar mata misalnya, tapi gambarnya nggak keliatan hidup?”
“Sering. Gambar aja susah gimana bikin keliatan hidup.”
“Sini aku kasih tau caranya.”
“Gimana?”
“Jadi, gambar itu harus dikasih shading atau bayangan supaya gambarnya keliatan hidup. Kan kalo gambarnya jadi kelihatan hidup atau realistis, gambar itu makin bagus.” jelas Ara.
“Ooh, gitu.” Kak Farez menganggukkan kepalanya. “Nanti ajarin aku kasih shading di gambar matanya, ya.”
“Iya Kakak.”
Ara membuka lembar yang masih kosong pada sketchbooknya. Kemudian mengambil tiga pensil dan penghapus dari tempat pensilnya. Setelah itu, dia mengambil tissue dari tasnya.
“Banyak banget, Ra, pensilnya?” tanya Kak Farez.
“Iya, banyak. Soalnya biar ketebalan shadingnya makin bagus. Yang ini HB, 2B, sama 6B.” Ara menunjukkan ketiga pensil itu kepada Kak Farez.
“Terus, tissue buat apa?”
“Tissue itu buat ratain arsiran pensilnya, biar shadingnya keliatan halus.” jelas Ara. “Oh, iya. Ini sketchbook Ara kertasnya agak kasar, shadingnya kurang halus. Kalo mau shadingnya halus, biasanya Ara pake kertas Canson. Itu kertas permukaanya halus, shadingnya jadi halus juga.”
“Nah, pertama, gambar outline matanya dulu, Kakak pasti bisa lah. Oh, iya, pake pensil HB ya.”
Goresan pensil kembali terbentuk di atas sketchbook itu. Kali ini, tangan Kak Farez yang mengatur gerakan pensilnya.
“Setelah itu, hitamkan pupil matanya pake pensil 6B. Arsir juga iris matanya. Hapus sebagian di atas pupil buat refleksi matanya, biar keliatan realistis. Habis itu, blending atau ratakan pake tissue.”
“Arsirnya gimana, Ra? Aku bingung.” tanya Kak Farez.
“Gini nih. Arsir tipis dulu semuanya, terus arsir ulang pinggirnya. Nggak perlu terlalu ditekan pensilnya, ulangi aja dua atau tiga kali, nanti bakal tebel sendiri.” Ara mencontohkannya. “Bisa, kan?”
“Okey.” Kak Farez mengikuti contoh yang diberikan Ara. Kemudian meratakannya dengan tissue. “Udah. Iya ya, rata. Habis ini apa?”
“Nah, ini nih seru. Gambar garis-garis bergelombang di bagian irisnya sampai bagian irisnya penuh sama garis-garis itu. Garis-garisnya ada yang pendek, ada yang panjang juga. Aku contohin dulu aja ya.”
“Okey, ini keren, dan aku bisa.” kata Kak Farez setelah menyelesaikan garis-garis itu.
“Habis ini, beri arsiran di pinggiran bola matanya. Bola mata kan bukan bidang datar, jadi biar keliatan realistis gambarnya harus dikasih shading.” jelas Ara, kemudian memberikan contoh lagi kepada Kak Farez.
“Sekarang, gambar bagian aliran air matanya. Gambar agak hitam dan hapus sedikit sampai putih banget biar kesannya lembab.”
“Bantuin, Ra.” pinta Kak Farez.
“Iya, aku bantuin kok, Kak.”
Dua remaja yang melakukan hal yang disebut penyibukkan diri oleh Ara itu terlihat begitu asyik. Goresan-goresan pensil yang indah menjadi saksi bisu tentang kebahagiaan yang tersirat pada keduanya. Sesekali Kak Farez merasa kesulitan, tangan Ara reflek memegang tangan Kak Farez sampai mereka menyadarinya, kemudian Ara melepasnya. Keduanya tersenyum dan kembali meneruskan penyibukkan diri itu. Hal kecil yang begitu indah.
“Dikit lagi selesai nih!” kata Ara. “Sekarang, kasih bayangan ke sekitar matanya. Terus blending lagi.”
“Akhirnya dikit lagi selesai.” kata Kak Farez.
Tiba-tiba, Ara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa ada yang memperhatikan mereka. Begitu juga Kak Farez. Dia merasakan hal yang sama dengan Ara, tapi dia tidak menghiraukannya. Ara melihat ke sekelilingnya. Benar saja, ada seseorang yang berdiri di dekat tangga yang sedang memperhatikan mereka. Seseorang yang tidak asing bagi Ara, tapi selalu membuatnya tidak nyaman.
Orang itu adalah Kak Tya, siswi kelas XI MIA 3 yang membencinya. Dia membenci Ara karena dia iri kepada Ara. Dia tidak suka jika Ara didekati oleh kakak kelas, terutama Kak Farez. Sebenarnya Ara tidak ingin menghiraukannya, tapi itu benar-benar mengusik kenyamanannya.
“Kak, kaya ada yang perhatiin kita deh.” kata Ara, membuat Kak Farez berhenti meratakan arsiran pada gambar yang sedang mereka buat.
“Eh, iya. Aku juga berasa kok, Ra.” Kak Farez mengiyakan.
“Liat tangga deh Kak.” kata Ara. Kak Farez langsung melihatnya.
“Tya. Kurang kerjaan banget itu anak.” nada bicara Kak Farez sinis.
“Ada Kak Tya biasanya ada Kak Erica nih.” Ara menebak-nebak. Kak Erica adalah siswi kelas XI IPS 1, dia sahabat kak Tya.
“Erica lagi. Dua anak itu bener-bener deh, gangguin kita terus.”
“Udah lah Kak, terusin aja gambarnya.”
Benar saja, tiba-tiba Kak Erica muncul dari tangga. Kemudian menemui Kak Tya. Mereka bercakap-cakap sebentar. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi, sesekali mereka menengok ke arah Ara dan Kak Farez. Raut muka mereka terlihat tidak menyenangkan.
Tak lama kemudian, mereka berjalan ke arah Ara dan Kak Farez berada. Ara dan Kak Farez merasa ada hal yang tidak beres akan terjadi, tapi mereka mencoba untuk tenang. Selama mereka tidak melakukan hal yang mengganggu Kak Tya dan Kak Erica, mereka tidak akan salah. Justru yang terjadi sebaliknya, Kak Tya dan Kak Erica sering mengganggu mereka, tapi tidak pernah mau mengakui kesalahannya.
Entah karena kebetulan, atau sudah direncanakan, hal tidak beres itu terjadi. Tas Kak Erica menyenggol Ara dan menjatuhkan sketchbook yang sedang dipegangnya, begitu juga dengan tempat pensil yang berisi alat-alat tulis yang sedang digunakannya. Tempat pensil itu terbuka, benda-benda yang berharga bagi Ara itu kini berserakan di lantai koridor.
“Ups! Sorry. Nggak sengaja.” nada bicara Kak Erica dibuat-buat, seakan-akan tak merasa bersalah. Padahal, terlihat jelas dia melakukan itu dengan sengaja.
Kak Tya mencoba menyembunyikan raut mukanya yang menyiratkan rasa puas saat melihat kejadian itu dengan berpura-pura kaget. Tapi tetap saja, itu tidak cukup menyembunyikannya dari Ara dan Kak Farez.
Kak Farez langsung berdiri, “Oh, Erica. Nggak sengaja, apanya? Ngelakuin kaya gitu nggak sengaja? Bagus deh kalo nggak sengaja. Nggak sengaja sampai kaya gitu, jatuhin barang punya orang sampai berserakan kaya gitu nggak reflek ngambil. Itu sih nggak sengaja menurut Erica ya. Paham kok.” sindir Kak Farez.
“Yah, Kak. Maaf, nggak sengaja, serius. Jangan gitu lah Kak, masih bisa diambil kok.” Kak Erica mengambil barang-barang itu di lantai. “Tya, bantuin ambil!”
“Oh, aku? Iya, tenang aku bantuin.” Kak Tya ikut mengambil barang-barang itu.
“Nggak Kak, jangan. Biar aku aja yang ambil.” kata Ara.
“Ara, nggak usah! Biar mereka aja yang ambil.” Kak Farez mencegah Ara.
“Iya, biar kita aja yang ambil ya, Tya. Nih, udah aku ambilin.” Kak Erica memberikan beberapa pensil yang dia ambil kepada Ara, disusul Kak Tya.
Setelah semuanya beres, Kak Tya dan Kak Erica hampir pergi begitu saja, Kak Farez sedikit membentak mereka.
“Bagus!” seru kak Farez. “Pergi aja langsung. Minta maaf aja belum. Oh, iya. Maafnya mahal. Ara jangan gitu ya, maafnya jangan mahal.” kata Kak Farez.
“Maksudnya apa maafnya mahal? Tadi aku udah minta maaf ya!” kata Kak Erica dengan nada tinggi.
“Sopan dikit bisa?” tanya Kak Farez.
“Yah, Kak. Tadi kan Erica udah minta maaf. Masa cuma gara-gara jatuhin tempat pensil jadi gini? Kan nggak lucu.” kata Kak Tya.
“Kamu juga. Nggak nyadar gangguin Ara terus? Nggak usah bawa-bawa Erica juga.” kata Kak Farez ke Kak Tya.
“Kalian gangguin Ara, sama aja kalian ganggu orang yang lagi ngomong sama kalian.” sambung Kak Farez.
“Maaf Kak, kita nggak ada maksud gitu. Maaf banget Kak. Maaf Ara.” kata Kak Tya dengan nada bicara yang dibuat-buat agar terlihat seperti memelas.
“Iya, maaf Kak. Maaf Ara.” sambung Kak Erica.
“Kak, udah lah. Kalo Kak Tya sama Kak Erica nggak minta maaf juga gapapa. Daripada nggak ikhlas mending jangan.” kata Ara ke Kak Farez.
“Iya Ara.” sahut Kak Farez.
“Ya udah, ngapain kalian masih di sini?” tanya Kak Farez ke Kak Tya dan Kak Erica. Mereka langsung meninggalkan Ara dan Kak Farez.
Ara dan Kak Farez terdiam sejenak. Kak Farez masih kesal, Ara berusaha menenangkannya tapi dia sendiri juga masih agak kesal.
“Biarin aja, Kak. Cuekin aja. Orang kaya mereka mau dibilangin apapun juga percuma. Biarin aja sampai mereka bosen, atau nyesel sendiri.” kata Ara.
“Iya Ara, aku tau. Tapi nggak gitu juga.” Kak Farez masih kesal.
“Udah ih, nggak usah di bahas. Gambarnya tanggung loh, kurang satu step lagi.”
“Ya udah, lanjut aja. Tapi aku nggak mood.”
“Aku yang selesaiin ya. Padahal, ini bagian yang paling seru loh.”
Ara mengambil sketchbook dan pensilnya.
“Eh, jangan deh, aku juga.”
“Yah, gimana Kak?”
“Iya, iya. Selesaiin bareng aja, Ara cantik.” Kak Farez mencubit pipi Ara lagi, Ara hanya melihat Kak Farez, kemudian menjelaskan cara selanjutnya.
“Sekarang, tinggal beri bulu mata. Gambar bulu matanya harus hati-hati. Soalnya kalau ada satu yang salah terus di hapus, yang lain juga bakal kehapus. Gambar bulu matanya dibengkokkan bagian bawahnya. Gambarnya pelan-pelan. Gini, Kak.” Ara menjelaskan sambil memberi contoh. Kemudian Kak Farez mengikutinya.
“Ara, bantuin.” pinta Kak Farez. Hal kecil yang indah itu kembali terjadi.
Goresan pensil yang membentuk helai demi helai bulu mata, deretan bulu mata yang indah terbentuk setelahnya.
“Seru, Ra! Ini paling seru! Keren banget! Aku bisa lagi.” Kak Farez kagum pada gambar itu. “Ini step terakhir kan, berarti selesai dong gambarnya?” tanya Kak Farez.
“Eh, belum. Masih ada satu lagi. Ini bikin gambarnya keliatan makin realistis.” kata Ara.
“Step terakhir, kan? Apa?”
“Iya. Terakhir, beri refleksi bulu mata pada refleksi matanya.”
“Kaya gini?” tanya Kak Farez.
“Iya, selesai Kak.” Ara tersenyum.
“Hah? Selesai ini?”
“Iya, Kak.”
“Bagus ya, gambar kita.” Kak Farez ikut tersenyum. Kemudian kedua pasang mata yang indah itu saling bertatapan lagi.
Goresan-goresan pensil yang menari-nari di atas selembar kertas putih itu kini telah menjadi sebuah karya sederhana, namun indah, dan penuh cerita. Alur goresan yang menyusun bagian demi bagian sketsa mata sampai selesai. Tentu saja sketsa itu terlihat realistis. Sketsa mata yang terlihat hidup itu seakan-akan ikut melihat hal-hal yang terjadi pada sore itu. Sketsa mata itu menjadi saksi bisu begitu manisnya kedekatan Ara dengan Kak Farez. Sketsa mata itu juga menjadi saksi bisu betapa tidak menyenangkannya sikap Kak Tya dan Kak Erica kepada Ara.
Benar memang, setiap gambar menyiratkan sebuah cerita yang ada di dalamnya.
“Ara! Tadi ada apa? Kaya ada yang ribut di sini? Kedengeran dari dalam.” Nina muncul dari balik pintu ruang kantor guru, dan langsung bertanya kepada Ara.
“Nanti aja aku jelasin, udah susulannya Na?” jawab Ara.
“Iya udah. Eh, ada Kak Farez. Syukur deh, jadi ada yang nemenin Ara.” kata Nina.
“Iya, Na.” sahut Kak Farez.
“Udah sore, pulang yuk!” ajak Ara.
“Ayo pulang, lagian mau ngapain lama-lama di sini?” Nina bertanya balik. “Eh, tapi beneran jelasin yang tadi, ya, Ra.”
“Iya Nina, aku jelasin kok serius.” Ara meyakinkan Nina.
Senja itu, langit masih kelabu. Tiga pasang kaki melangkah keluar dari bangunan megah itu. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Membuat bangunan itu semakin sepi, tetapi akan ramai kembali esok pagi.

 

Follow Me

Instagram