Pages

Jumat, 20 Februari 2015

Tentang Yang Berharga

Ada yang pernah kehilangan sebagian besar kebahagiaan dan harapan yang dimilikinya.
Ada yang pernah kehilangan sebagian besar tawa dan impian yang dimilikinya.
Ada yang pernah kehilangan kesempurnaan hidupnya.
Itu seperti kehilangan setengah nyawanya.

Semua tahu, tak ada yang sempurna dalam semesta.
Tetapi, hidupnya tetap terasa sempurna baginya.
Dengan semua hal yang berharga di sekelilingnya.
Dengan impiannya yang tercapai, walau hanya sebagian.

Tiba-tiba saja semua kesempurnaan itu direnggut darinya.
Direnggut oleh hal yang tak pernah disukainya.
Direnggut oleh hal yang hanya mengecewakannya.
Direnggut oleh hal yang membuat tetesan air mata selalu membasahi pipinya.

Tetapi dia percaya, suatu saat nanti kebahagiaan dan harapan itu dapat kembali lagi padanya.
Kemudian menjadi nyata.
Walaupun itu sedikit demi sedikit.
Menyusun serpihan nyawa yang hilang menjadi utuh kembali.

Dan saat kebahagiaanya mulai kembali, bukankah hatinya merasa senang?
Bukankah setiap detiknya menjadi berharga?
Bukankah senyumnya tak lagi terpaksa?
Bukankah hidupnya kembali terasa sempurna?

Entah, hanya dia dan Tuhan yang mengerti.

Rabu, 04 Februari 2015

Cerita Dalam Sketsa



Sang mentari tak menunjukkan tatapan menyilaukannya dari ufuk barat sore itu. Langit kelabu menjadi atap diatas atap sekolah yang berdiri megah di kota besar itu. Satu persatu murid melangkahkan kakinya keluar sekolah untuk kembali ke rumah masing-masing. Kegiatan belajar mengajar hari itu memang telah usai, kecuali kelas 12 yang masih PM dan beberapa murid kelas 10 dan 11 yang melaksanakan ekstra kurikuler. Tapi, tak hanya mereka, Ara dan Nina belum keluar dari sekolah itu juga.
“Ara, aku harus kerjain ulangan susulan Bahasa Indonesia dulu. Kamu pulang duluan aja ya.” kata Nina sambil merapikan bukunya di sebuah bangku panjang yang berada di koridor yang telah sepi itu.
“Aku tungguin kamu aja, lagian aku males di rumah. Gapapa, serius.”  kata Ara.
“Beneran? Sendirian loh kamu di sini.”
“Iya serius, sekalian numpang wifi di sini.”
“Ya udah, aku nggak lama-lama banget kok. Tunggu ya,”
“Okey.”
Nina masuk ke kantor guru untuk meminta soal ulangan susulannya. Sementara Ara duduk di bangku sambil asik mengutak-atik handphonenya.
Nina adalah sahabat baik Ara sejak mereka SMA. Meskipun mereka berbeda kelas, mereka terlihat selalu bersama-sama saat di luar kelas. Ara adalah siswi kelas X IIS 1, sedangkan Nina adalah siswi kelas X IIS 3.
Ara terlihat bosan memainkan handphonenya. Dia menengok ke sekelilingnya. Sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat, tetapi jauh darinya. Dia menekan tombol kunci layar pada benda berwarna putih itu, kemudian dia membukanya kembali. Terlihat jelas angka 03:17 PM pada lock screen yang berbackground foto gambar dreamcatcher buatannya.
Tiba-tiba saja gambar dreamcatcher itu mengingatkannya pada sebuah benda di dalam tasnya. Ara langsung mengeluarkan benda yang berisi berbagai goresan indah pensil dan pena yang menari bersama tangan yang dianugerahi kemampuan menggambar itu. Ya, tentu saja benda itu adalah sketchbook milik Ara. Dia juga mengambil tempat pensilnya.
“Ini nih, penyibukkan diri yang nggak pernah bikin bosan. Menguras waktu tapi nggak bikin waktu terkuras sia-sia.” gumam Ara sambil mengeluarkan sebatang pensil dari tempat pensilnya. Senyum yang mengembang di wajahnya menyiratkan rasa senang saat dia melakukan penyibukkan diri itu, menggambar.
Dentingan jarum detik yang berlari mengiringi goresan-goresan indah yang terbentuk oleh pensil yang menari-nari di atas selembar kertas putih. Sepasang mata yang indah tertuju pada alur goresan pensil itu, menjaga agar alur goresan pensil itu tetap rapi. Entah apa yang Ara gambar, tapi keasyikkan sangat terasa dalam dirinya.
Sampai suatu suara merasuki telinga Ara, membuat tangan dan matanya berhenti mengatur alur goresan pensil itu. Bel sekolah pukul setengah empat sore berbunyi, menandakan PM kelas 12 usai. Suasana koridor mulai ramai dipenuhi oleh murid kelas 12 yang akan pulang. Tapi, Ara tidak terlalu menghiraukannya. Dia kembali menggambar, meskipun lalu-lalang murid kelas 12 di depannya sedikit mengganggu konsentrasinya.
 Tak disangka, ada lagi hal yang membuat Ara berhenti melakukan penyibukkan dirinya. Ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Kemudian memperhatikan Ara, dan melihat tepat ke mata Ara. Ara menyadari dirinya sedang diperhatikan. Dia menengok ke samping, kedua matanya mengatakan bahwa orang yang sedang memperhatikannya itu adalah Kak Farez.
Dua pasang mata yang indah itu saling bertatapan. Seakan-akan tak ada lagi yang perlu diperhatikan. Tapi hanya sejenak. Senyum mengembang pada wajah mereka saat kedua pasang mata mereka tak saling bertatapan lagi. Hal kecil yang berlangsung begitu singkat, tetapi begitu indah bagi mereka berdua.
Ara hampir salah tingkah, begitu juga Kak Farez. Tapi, Kak Farez selalu punya ide untuk meredakannya. Siswa kelas XII IPA 2 itu memang sudah kenal dekat dengan Ara sejak Ara masuk SMA.
“Gambar mulu, Ra. Gambar apa sekarang?” tanya Kak Farez.
“Ih, nanya, masa belum liat sih? Terus dari tadi ngapain?” Ara bertanya balik.
“Liatin mata kamu.” Kak Farez menatap mata Ara lagi.
“Jangan liatin lagi!” Tangan Ara menutup mata Kak Farez.
“Gapapa kali,” Tangan Kak Farez meraih tangan Ara, meletakannya, kemudian mencubit pipi Ara.
“Aw! Jangan nyubit ih!” Ara memukul pelan tangan Kak Farez.
“Lucu. Ngegemesin.” Kak Farez tersenyum. Ara diam, berusaha menahan senyumnya, tapi gagal.
“Kok sendirian? Sengaja? Atau nungguin aku?” tanya Kak Farez.
“Enggak, Kak. Lagi males di rumah, nungguin Nina susulan Bahasa Indonesia. Daripada bengong mending gambar.” jawab Ara.
“Oh, gitu. Aku temenin ya?” pinta Kak Farez.
“Kakak kalo mau pulang duluan juga gapapa kali, kan capek.”
“Nggak. Nggak mau. Nemenin kamu aja ya? Gapapa kan?”
“Gapapa sih, Kak.”
Mereka berdua terdiam sejenak.
“Oh, iya. Ra, ajarin gambar dong.” pinta Kak Farez.
“Mau gambar apa, Kak?” tanya Ara.
“Emm… Gambar mata kamu aja kali, ya.” jawab Kak Farez.
“Kok mata aku?” tanya Ara.
“Gapapa, kan?” Kak Farez bertanya balik.
“Iya gapapa sih, mata Kakak aja ya?”
“Ya udah deh, ajarin.”
“Iya Kakak.” Ara terdiam sejenak. “Oh, iya, Kakak pernah gambar sesuatu, gambar mata misalnya, tapi gambarnya nggak keliatan hidup?”
“Sering. Gambar aja susah gimana bikin keliatan hidup.”
“Sini aku kasih tau caranya.”
“Gimana?”
“Jadi, gambar itu harus dikasih shading atau bayangan supaya gambarnya keliatan hidup. Kan kalo gambarnya jadi kelihatan hidup atau realistis, gambar itu makin bagus.” jelas Ara.
“Ooh, gitu.” Kak Farez menganggukkan kepalanya. “Nanti ajarin aku kasih shading di gambar matanya, ya.”
“Iya Kakak.”
Ara membuka lembar yang masih kosong pada sketchbooknya. Kemudian mengambil tiga pensil dan penghapus dari tempat pensilnya. Setelah itu, dia mengambil tissue dari tasnya.
“Banyak banget, Ra, pensilnya?” tanya Kak Farez.
“Iya, banyak. Soalnya biar ketebalan shadingnya makin bagus. Yang ini HB, 2B, sama 6B.” Ara menunjukkan ketiga pensil itu kepada Kak Farez.
“Terus, tissue buat apa?”
“Tissue itu buat ratain arsiran pensilnya, biar shadingnya keliatan halus.” jelas Ara. “Oh, iya. Ini sketchbook Ara kertasnya agak kasar, shadingnya kurang halus. Kalo mau shadingnya halus, biasanya Ara pake kertas Canson. Itu kertas permukaanya halus, shadingnya jadi halus juga.”
“Nah, pertama, gambar outline matanya dulu, Kakak pasti bisa lah. Oh, iya, pake pensil HB ya.”
Goresan pensil kembali terbentuk di atas sketchbook itu. Kali ini, tangan Kak Farez yang mengatur gerakan pensilnya.
“Setelah itu, hitamkan pupil matanya pake pensil 6B. Arsir juga iris matanya. Hapus sebagian di atas pupil buat refleksi matanya, biar keliatan realistis. Habis itu, blending atau ratakan pake tissue.”
“Arsirnya gimana, Ra? Aku bingung.” tanya Kak Farez.
“Gini nih. Arsir tipis dulu semuanya, terus arsir ulang pinggirnya. Nggak perlu terlalu ditekan pensilnya, ulangi aja dua atau tiga kali, nanti bakal tebel sendiri.” Ara mencontohkannya. “Bisa, kan?”
“Okey.” Kak Farez mengikuti contoh yang diberikan Ara. Kemudian meratakannya dengan tissue. “Udah. Iya ya, rata. Habis ini apa?”
“Nah, ini nih seru. Gambar garis-garis bergelombang di bagian irisnya sampai bagian irisnya penuh sama garis-garis itu. Garis-garisnya ada yang pendek, ada yang panjang juga. Aku contohin dulu aja ya.”
“Okey, ini keren, dan aku bisa.” kata Kak Farez setelah menyelesaikan garis-garis itu.
“Habis ini, beri arsiran di pinggiran bola matanya. Bola mata kan bukan bidang datar, jadi biar keliatan realistis gambarnya harus dikasih shading.” jelas Ara, kemudian memberikan contoh lagi kepada Kak Farez.
“Sekarang, gambar bagian aliran air matanya. Gambar agak hitam dan hapus sedikit sampai putih banget biar kesannya lembab.”
“Bantuin, Ra.” pinta Kak Farez.
“Iya, aku bantuin kok, Kak.”
Dua remaja yang melakukan hal yang disebut penyibukkan diri oleh Ara itu terlihat begitu asyik. Goresan-goresan pensil yang indah menjadi saksi bisu tentang kebahagiaan yang tersirat pada keduanya. Sesekali Kak Farez merasa kesulitan, tangan Ara reflek memegang tangan Kak Farez sampai mereka menyadarinya, kemudian Ara melepasnya. Keduanya tersenyum dan kembali meneruskan penyibukkan diri itu. Hal kecil yang begitu indah.
“Dikit lagi selesai nih!” kata Ara. “Sekarang, kasih bayangan ke sekitar matanya. Terus blending lagi.”
“Akhirnya dikit lagi selesai.” kata Kak Farez.
Tiba-tiba, Ara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa ada yang memperhatikan mereka. Begitu juga Kak Farez. Dia merasakan hal yang sama dengan Ara, tapi dia tidak menghiraukannya. Ara melihat ke sekelilingnya. Benar saja, ada seseorang yang berdiri di dekat tangga yang sedang memperhatikan mereka. Seseorang yang tidak asing bagi Ara, tapi selalu membuatnya tidak nyaman.
Orang itu adalah Kak Tya, siswi kelas XI MIA 3 yang membencinya. Dia membenci Ara karena dia iri kepada Ara. Dia tidak suka jika Ara didekati oleh kakak kelas, terutama Kak Farez. Sebenarnya Ara tidak ingin menghiraukannya, tapi itu benar-benar mengusik kenyamanannya.
“Kak, kaya ada yang perhatiin kita deh.” kata Ara, membuat Kak Farez berhenti meratakan arsiran pada gambar yang sedang mereka buat.
“Eh, iya. Aku juga berasa kok, Ra.” Kak Farez mengiyakan.
“Liat tangga deh Kak.” kata Ara. Kak Farez langsung melihatnya.
“Tya. Kurang kerjaan banget itu anak.” nada bicara Kak Farez sinis.
“Ada Kak Tya biasanya ada Kak Erica nih.” Ara menebak-nebak. Kak Erica adalah siswi kelas XI IPS 1, dia sahabat kak Tya.
“Erica lagi. Dua anak itu bener-bener deh, gangguin kita terus.”
“Udah lah Kak, terusin aja gambarnya.”
Benar saja, tiba-tiba Kak Erica muncul dari tangga. Kemudian menemui Kak Tya. Mereka bercakap-cakap sebentar. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi, sesekali mereka menengok ke arah Ara dan Kak Farez. Raut muka mereka terlihat tidak menyenangkan.
Tak lama kemudian, mereka berjalan ke arah Ara dan Kak Farez berada. Ara dan Kak Farez merasa ada hal yang tidak beres akan terjadi, tapi mereka mencoba untuk tenang. Selama mereka tidak melakukan hal yang mengganggu Kak Tya dan Kak Erica, mereka tidak akan salah. Justru yang terjadi sebaliknya, Kak Tya dan Kak Erica sering mengganggu mereka, tapi tidak pernah mau mengakui kesalahannya.
Entah karena kebetulan, atau sudah direncanakan, hal tidak beres itu terjadi. Tas Kak Erica menyenggol Ara dan menjatuhkan sketchbook yang sedang dipegangnya, begitu juga dengan tempat pensil yang berisi alat-alat tulis yang sedang digunakannya. Tempat pensil itu terbuka, benda-benda yang berharga bagi Ara itu kini berserakan di lantai koridor.
“Ups! Sorry. Nggak sengaja.” nada bicara Kak Erica dibuat-buat, seakan-akan tak merasa bersalah. Padahal, terlihat jelas dia melakukan itu dengan sengaja.
Kak Tya mencoba menyembunyikan raut mukanya yang menyiratkan rasa puas saat melihat kejadian itu dengan berpura-pura kaget. Tapi tetap saja, itu tidak cukup menyembunyikannya dari Ara dan Kak Farez.
Kak Farez langsung berdiri, “Oh, Erica. Nggak sengaja, apanya? Ngelakuin kaya gitu nggak sengaja? Bagus deh kalo nggak sengaja. Nggak sengaja sampai kaya gitu, jatuhin barang punya orang sampai berserakan kaya gitu nggak reflek ngambil. Itu sih nggak sengaja menurut Erica ya. Paham kok.” sindir Kak Farez.
“Yah, Kak. Maaf, nggak sengaja, serius. Jangan gitu lah Kak, masih bisa diambil kok.” Kak Erica mengambil barang-barang itu di lantai. “Tya, bantuin ambil!”
“Oh, aku? Iya, tenang aku bantuin.” Kak Tya ikut mengambil barang-barang itu.
“Nggak Kak, jangan. Biar aku aja yang ambil.” kata Ara.
“Ara, nggak usah! Biar mereka aja yang ambil.” Kak Farez mencegah Ara.
“Iya, biar kita aja yang ambil ya, Tya. Nih, udah aku ambilin.” Kak Erica memberikan beberapa pensil yang dia ambil kepada Ara, disusul Kak Tya.
Setelah semuanya beres, Kak Tya dan Kak Erica hampir pergi begitu saja, Kak Farez sedikit membentak mereka.
“Bagus!” seru kak Farez. “Pergi aja langsung. Minta maaf aja belum. Oh, iya. Maafnya mahal. Ara jangan gitu ya, maafnya jangan mahal.” kata Kak Farez.
“Maksudnya apa maafnya mahal? Tadi aku udah minta maaf ya!” kata Kak Erica dengan nada tinggi.
“Sopan dikit bisa?” tanya Kak Farez.
“Yah, Kak. Tadi kan Erica udah minta maaf. Masa cuma gara-gara jatuhin tempat pensil jadi gini? Kan nggak lucu.” kata Kak Tya.
“Kamu juga. Nggak nyadar gangguin Ara terus? Nggak usah bawa-bawa Erica juga.” kata Kak Farez ke Kak Tya.
“Kalian gangguin Ara, sama aja kalian ganggu orang yang lagi ngomong sama kalian.” sambung Kak Farez.
“Maaf Kak, kita nggak ada maksud gitu. Maaf banget Kak. Maaf Ara.” kata Kak Tya dengan nada bicara yang dibuat-buat agar terlihat seperti memelas.
“Iya, maaf Kak. Maaf Ara.” sambung Kak Erica.
“Kak, udah lah. Kalo Kak Tya sama Kak Erica nggak minta maaf juga gapapa. Daripada nggak ikhlas mending jangan.” kata Ara ke Kak Farez.
“Iya Ara.” sahut Kak Farez.
“Ya udah, ngapain kalian masih di sini?” tanya Kak Farez ke Kak Tya dan Kak Erica. Mereka langsung meninggalkan Ara dan Kak Farez.
Ara dan Kak Farez terdiam sejenak. Kak Farez masih kesal, Ara berusaha menenangkannya tapi dia sendiri juga masih agak kesal.
“Biarin aja, Kak. Cuekin aja. Orang kaya mereka mau dibilangin apapun juga percuma. Biarin aja sampai mereka bosen, atau nyesel sendiri.” kata Ara.
“Iya Ara, aku tau. Tapi nggak gitu juga.” Kak Farez masih kesal.
“Udah ih, nggak usah di bahas. Gambarnya tanggung loh, kurang satu step lagi.”
“Ya udah, lanjut aja. Tapi aku nggak mood.”
“Aku yang selesaiin ya. Padahal, ini bagian yang paling seru loh.”
Ara mengambil sketchbook dan pensilnya.
“Eh, jangan deh, aku juga.”
“Yah, gimana Kak?”
“Iya, iya. Selesaiin bareng aja, Ara cantik.” Kak Farez mencubit pipi Ara lagi, Ara hanya melihat Kak Farez, kemudian menjelaskan cara selanjutnya.
“Sekarang, tinggal beri bulu mata. Gambar bulu matanya harus hati-hati. Soalnya kalau ada satu yang salah terus di hapus, yang lain juga bakal kehapus. Gambar bulu matanya dibengkokkan bagian bawahnya. Gambarnya pelan-pelan. Gini, Kak.” Ara menjelaskan sambil memberi contoh. Kemudian Kak Farez mengikutinya.
“Ara, bantuin.” pinta Kak Farez. Hal kecil yang indah itu kembali terjadi.
Goresan pensil yang membentuk helai demi helai bulu mata, deretan bulu mata yang indah terbentuk setelahnya.
“Seru, Ra! Ini paling seru! Keren banget! Aku bisa lagi.” Kak Farez kagum pada gambar itu. “Ini step terakhir kan, berarti selesai dong gambarnya?” tanya Kak Farez.
“Eh, belum. Masih ada satu lagi. Ini bikin gambarnya keliatan makin realistis.” kata Ara.
“Step terakhir, kan? Apa?”
“Iya. Terakhir, beri refleksi bulu mata pada refleksi matanya.”
“Kaya gini?” tanya Kak Farez.
“Iya, selesai Kak.” Ara tersenyum.
“Hah? Selesai ini?”
“Iya, Kak.”
“Bagus ya, gambar kita.” Kak Farez ikut tersenyum. Kemudian kedua pasang mata yang indah itu saling bertatapan lagi.
Goresan-goresan pensil yang menari-nari di atas selembar kertas putih itu kini telah menjadi sebuah karya sederhana, namun indah, dan penuh cerita. Alur goresan yang menyusun bagian demi bagian sketsa mata sampai selesai. Tentu saja sketsa itu terlihat realistis. Sketsa mata yang terlihat hidup itu seakan-akan ikut melihat hal-hal yang terjadi pada sore itu. Sketsa mata itu menjadi saksi bisu begitu manisnya kedekatan Ara dengan Kak Farez. Sketsa mata itu juga menjadi saksi bisu betapa tidak menyenangkannya sikap Kak Tya dan Kak Erica kepada Ara.
Benar memang, setiap gambar menyiratkan sebuah cerita yang ada di dalamnya.
“Ara! Tadi ada apa? Kaya ada yang ribut di sini? Kedengeran dari dalam.” Nina muncul dari balik pintu ruang kantor guru, dan langsung bertanya kepada Ara.
“Nanti aja aku jelasin, udah susulannya Na?” jawab Ara.
“Iya udah. Eh, ada Kak Farez. Syukur deh, jadi ada yang nemenin Ara.” kata Nina.
“Iya, Na.” sahut Kak Farez.
“Udah sore, pulang yuk!” ajak Ara.
“Ayo pulang, lagian mau ngapain lama-lama di sini?” Nina bertanya balik. “Eh, tapi beneran jelasin yang tadi, ya, Ra.”
“Iya Nina, aku jelasin kok serius.” Ara meyakinkan Nina.
Senja itu, langit masih kelabu. Tiga pasang kaki melangkah keluar dari bangunan megah itu. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Membuat bangunan itu semakin sepi, tetapi akan ramai kembali esok pagi.

 

Follow Me

Instagram