Sang
mentari tak menunjukkan tatapan menyilaukannya dari
ufuk barat sore itu. Langit kelabu menjadi atap diatas atap sekolah yang
berdiri megah di kota besar itu. Satu persatu murid melangkahkan kakinya keluar
sekolah untuk kembali ke rumah masing-masing. Kegiatan belajar mengajar hari
itu memang telah usai, kecuali kelas 12 yang masih PM dan beberapa murid kelas
10 dan 11 yang melaksanakan ekstra kurikuler. Tapi, tak hanya mereka, Ara dan
Nina belum keluar dari sekolah itu juga.
“Ara,
aku harus kerjain ulangan susulan Bahasa Indonesia dulu. Kamu pulang duluan aja
ya.” kata Nina sambil merapikan bukunya di sebuah bangku panjang yang berada di
koridor yang telah sepi itu.
“Aku
tungguin kamu aja, lagian aku males di rumah. Gapapa, serius.” kata Ara.
“Beneran?
Sendirian loh kamu di sini.”
“Iya
serius, sekalian numpang wifi di sini.”
“Ya
udah, aku nggak lama-lama banget kok. Tunggu ya,”
“Okey.”
Nina masuk ke kantor guru untuk meminta soal ulangan susulannya.
Sementara Ara duduk di bangku sambil asik mengutak-atik handphonenya.
Nina adalah sahabat baik Ara sejak mereka SMA. Meskipun
mereka berbeda kelas, mereka terlihat selalu bersama-sama saat di luar kelas. Ara
adalah siswi kelas X IIS 1, sedangkan Nina adalah siswi kelas X IIS 3.
Ara terlihat bosan memainkan handphonenya. Dia menengok ke
sekelilingnya. Sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat, tetapi jauh
darinya. Dia menekan tombol kunci layar pada benda berwarna putih itu, kemudian
dia membukanya kembali. Terlihat jelas angka 03:17 PM pada lock screen yang
berbackground foto gambar dreamcatcher buatannya.
Tiba-tiba saja gambar dreamcatcher itu mengingatkannya pada
sebuah benda di dalam tasnya. Ara langsung mengeluarkan benda yang berisi
berbagai goresan indah pensil dan pena yang menari bersama tangan yang
dianugerahi kemampuan menggambar itu. Ya, tentu saja benda itu adalah
sketchbook milik Ara. Dia juga mengambil tempat pensilnya.
“Ini nih, penyibukkan diri yang nggak pernah bikin bosan.
Menguras waktu tapi nggak bikin waktu terkuras sia-sia.” gumam Ara sambil
mengeluarkan sebatang pensil dari tempat pensilnya. Senyum yang mengembang di
wajahnya menyiratkan rasa senang saat dia melakukan penyibukkan diri itu,
menggambar.
Dentingan jarum detik yang berlari mengiringi goresan-goresan
indah yang terbentuk oleh pensil yang menari-nari di atas selembar kertas putih.
Sepasang mata yang indah tertuju pada alur goresan pensil itu, menjaga agar
alur goresan pensil itu tetap rapi. Entah apa yang Ara gambar, tapi keasyikkan
sangat terasa dalam dirinya.
Sampai suatu suara merasuki telinga Ara, membuat tangan dan
matanya berhenti mengatur alur goresan pensil itu. Bel sekolah pukul setengah
empat sore berbunyi, menandakan PM kelas 12 usai. Suasana koridor mulai ramai
dipenuhi oleh murid kelas 12 yang akan pulang. Tapi, Ara tidak terlalu
menghiraukannya. Dia kembali menggambar, meskipun lalu-lalang murid kelas 12 di
depannya sedikit mengganggu konsentrasinya.
Tak disangka, ada lagi
hal yang membuat Ara berhenti melakukan penyibukkan dirinya. Ada seseorang yang
tiba-tiba duduk di sebelahnya. Kemudian memperhatikan Ara, dan melihat tepat ke
mata Ara. Ara menyadari dirinya sedang diperhatikan. Dia menengok ke samping,
kedua matanya mengatakan bahwa orang yang sedang memperhatikannya itu adalah
Kak Farez.
Dua pasang mata yang indah itu saling bertatapan. Seakan-akan
tak ada lagi yang perlu diperhatikan. Tapi hanya sejenak. Senyum mengembang
pada wajah mereka saat kedua pasang mata mereka tak saling bertatapan lagi. Hal
kecil yang berlangsung begitu singkat, tetapi begitu indah bagi mereka berdua.
Ara hampir salah tingkah, begitu juga Kak Farez. Tapi, Kak
Farez selalu punya ide untuk meredakannya. Siswa kelas XII IPA 2 itu memang
sudah kenal dekat dengan Ara sejak Ara masuk SMA.
“Gambar mulu, Ra. Gambar apa sekarang?” tanya Kak Farez.
“Ih, nanya, masa belum liat sih? Terus dari tadi ngapain?”
Ara bertanya balik.
“Liatin mata kamu.” Kak Farez menatap mata Ara lagi.
“Jangan liatin lagi!” Tangan Ara menutup mata Kak Farez.
“Gapapa kali,” Tangan Kak Farez meraih tangan Ara,
meletakannya, kemudian mencubit pipi Ara.
“Aw! Jangan nyubit ih!” Ara memukul pelan tangan Kak Farez.
“Lucu. Ngegemesin.” Kak Farez tersenyum. Ara diam, berusaha
menahan senyumnya, tapi gagal.
“Kok sendirian? Sengaja? Atau nungguin aku?” tanya Kak Farez.
“Enggak, Kak. Lagi males di rumah, nungguin Nina susulan
Bahasa Indonesia. Daripada bengong mending gambar.” jawab Ara.
“Oh, gitu. Aku temenin ya?” pinta Kak Farez.
“Kakak kalo mau pulang duluan juga gapapa kali, kan capek.”
“Nggak. Nggak mau. Nemenin kamu aja ya? Gapapa kan?”
“Gapapa sih, Kak.”
Mereka berdua terdiam sejenak.
“Oh, iya. Ra, ajarin gambar dong.” pinta Kak Farez.
“Mau gambar apa, Kak?” tanya Ara.
“Emm… Gambar mata kamu aja kali, ya.” jawab Kak Farez.
“Kok mata aku?” tanya Ara.
“Gapapa, kan?” Kak Farez bertanya balik.
“Iya gapapa sih, mata Kakak aja ya?”
“Ya udah deh, ajarin.”
“Iya Kakak.” Ara terdiam sejenak. “Oh, iya, Kakak pernah
gambar sesuatu, gambar mata misalnya, tapi gambarnya nggak keliatan hidup?”
“Sering. Gambar aja susah gimana bikin keliatan hidup.”
“Sini aku kasih tau caranya.”
“Gimana?”
“Jadi, gambar itu harus dikasih shading atau bayangan supaya
gambarnya keliatan hidup. Kan kalo gambarnya jadi kelihatan hidup atau
realistis, gambar itu makin bagus.” jelas Ara.
“Ooh, gitu.” Kak Farez menganggukkan kepalanya. “Nanti ajarin
aku kasih shading di gambar matanya, ya.”
“Iya Kakak.”
Ara membuka lembar yang masih kosong pada sketchbooknya.
Kemudian mengambil tiga pensil dan penghapus dari tempat pensilnya. Setelah
itu, dia mengambil tissue dari tasnya.
“Banyak banget, Ra, pensilnya?” tanya Kak Farez.
“Iya, banyak. Soalnya biar ketebalan shadingnya makin bagus.
Yang ini HB, 2B, sama 6B.” Ara menunjukkan ketiga pensil itu kepada Kak Farez.
“Terus, tissue buat apa?”
“Tissue itu buat ratain arsiran pensilnya, biar shadingnya
keliatan halus.” jelas Ara. “Oh, iya. Ini sketchbook Ara kertasnya agak kasar,
shadingnya kurang halus. Kalo mau shadingnya halus, biasanya Ara pake kertas
Canson. Itu kertas permukaanya halus, shadingnya jadi halus juga.”
“Nah, pertama, gambar outline matanya dulu, Kakak pasti bisa
lah. Oh, iya, pake pensil HB ya.”
Goresan pensil kembali terbentuk di atas sketchbook itu. Kali
ini, tangan Kak Farez yang mengatur gerakan pensilnya.
“Setelah itu, hitamkan pupil matanya pake pensil 6B. Arsir
juga iris matanya. Hapus sebagian di atas pupil buat refleksi matanya, biar
keliatan realistis. Habis itu, blending atau ratakan pake tissue.”
“Arsirnya gimana, Ra? Aku bingung.” tanya Kak Farez.
“Gini nih. Arsir tipis dulu semuanya, terus arsir ulang
pinggirnya. Nggak perlu terlalu ditekan pensilnya, ulangi aja dua atau tiga
kali, nanti bakal tebel sendiri.” Ara mencontohkannya. “Bisa, kan?”
“Okey.” Kak Farez mengikuti contoh yang diberikan Ara. Kemudian
meratakannya dengan tissue. “Udah. Iya ya, rata. Habis ini apa?”
“Nah, ini nih seru. Gambar garis-garis bergelombang di bagian
irisnya sampai bagian irisnya penuh sama garis-garis itu. Garis-garisnya ada
yang pendek, ada yang panjang juga. Aku contohin dulu aja ya.”
“Okey, ini keren, dan aku bisa.” kata Kak Farez setelah
menyelesaikan garis-garis itu.
“Habis ini, beri arsiran di pinggiran bola matanya. Bola mata
kan bukan bidang datar, jadi biar keliatan realistis gambarnya harus dikasih
shading.” jelas Ara, kemudian memberikan contoh lagi kepada Kak Farez.
“Sekarang, gambar bagian aliran air matanya. Gambar agak
hitam dan hapus sedikit sampai putih banget biar kesannya lembab.”
“Bantuin, Ra.” pinta Kak Farez.
“Iya, aku bantuin kok, Kak.”
Dua remaja yang melakukan hal yang disebut penyibukkan diri
oleh Ara itu terlihat begitu asyik. Goresan-goresan pensil yang indah menjadi
saksi bisu tentang kebahagiaan yang tersirat pada keduanya. Sesekali Kak Farez
merasa kesulitan, tangan Ara reflek memegang tangan Kak Farez sampai mereka
menyadarinya, kemudian Ara melepasnya. Keduanya tersenyum dan kembali
meneruskan penyibukkan diri itu. Hal kecil yang begitu indah.
“Dikit lagi selesai nih!” kata Ara. “Sekarang, kasih bayangan
ke sekitar matanya. Terus blending lagi.”
“Akhirnya dikit lagi selesai.” kata Kak Farez.
Tiba-tiba, Ara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia
merasa ada yang memperhatikan mereka. Begitu juga Kak Farez. Dia merasakan hal
yang sama dengan Ara, tapi dia tidak menghiraukannya. Ara melihat ke
sekelilingnya. Benar saja, ada seseorang yang berdiri di dekat tangga yang
sedang memperhatikan mereka. Seseorang yang tidak asing bagi Ara, tapi selalu
membuatnya tidak nyaman.
Orang itu adalah Kak Tya, siswi kelas XI MIA 3 yang membencinya.
Dia membenci Ara karena dia iri kepada Ara. Dia tidak suka jika Ara didekati
oleh kakak kelas, terutama Kak Farez. Sebenarnya Ara tidak ingin
menghiraukannya, tapi itu benar-benar mengusik kenyamanannya.
“Kak, kaya ada yang perhatiin kita deh.” kata Ara, membuat
Kak Farez berhenti meratakan arsiran pada gambar yang sedang mereka buat.
“Eh, iya. Aku juga berasa kok, Ra.” Kak Farez mengiyakan.
“Liat tangga deh Kak.” kata Ara. Kak Farez langsung
melihatnya.
“Tya. Kurang kerjaan banget itu anak.” nada bicara Kak Farez sinis.
“Ada Kak Tya biasanya ada Kak Erica nih.” Ara menebak-nebak.
Kak Erica adalah siswi kelas XI IPS 1, dia sahabat kak Tya.
“Erica lagi. Dua anak itu bener-bener deh, gangguin kita
terus.”
“Udah lah Kak, terusin aja gambarnya.”
Benar saja, tiba-tiba Kak Erica muncul dari tangga. Kemudian
menemui Kak Tya. Mereka bercakap-cakap sebentar. Entah apa yang mereka
bicarakan, tapi, sesekali mereka menengok ke arah Ara dan Kak Farez. Raut muka
mereka terlihat tidak menyenangkan.
Tak lama kemudian, mereka berjalan ke arah Ara dan Kak Farez
berada. Ara dan Kak Farez merasa ada hal yang tidak beres akan terjadi, tapi
mereka mencoba untuk tenang. Selama mereka tidak melakukan hal yang mengganggu Kak
Tya dan Kak Erica, mereka tidak akan salah. Justru yang terjadi sebaliknya, Kak
Tya dan Kak Erica sering mengganggu mereka, tapi tidak pernah mau mengakui
kesalahannya.
Entah karena kebetulan, atau sudah direncanakan, hal tidak
beres itu terjadi. Tas Kak Erica menyenggol Ara dan menjatuhkan sketchbook yang
sedang dipegangnya, begitu juga dengan tempat pensil yang berisi alat-alat
tulis yang sedang digunakannya. Tempat pensil itu terbuka, benda-benda yang
berharga bagi Ara itu kini berserakan di lantai koridor.
“Ups! Sorry. Nggak sengaja.” nada bicara Kak Erica
dibuat-buat, seakan-akan tak merasa bersalah. Padahal, terlihat jelas dia
melakukan itu dengan sengaja.
Kak Tya mencoba menyembunyikan raut mukanya yang menyiratkan
rasa puas saat melihat kejadian itu dengan berpura-pura kaget. Tapi tetap saja,
itu tidak cukup menyembunyikannya dari Ara dan Kak Farez.
Kak Farez langsung berdiri, “Oh, Erica. Nggak sengaja,
apanya? Ngelakuin kaya gitu nggak sengaja? Bagus deh kalo nggak sengaja. Nggak
sengaja sampai kaya gitu, jatuhin barang punya orang sampai berserakan kaya
gitu nggak reflek ngambil. Itu sih nggak sengaja menurut Erica ya. Paham kok.”
sindir Kak Farez.
“Yah, Kak. Maaf, nggak sengaja, serius. Jangan gitu lah Kak,
masih bisa diambil kok.” Kak Erica mengambil barang-barang itu di lantai. “Tya,
bantuin ambil!”
“Oh, aku? Iya, tenang aku bantuin.” Kak Tya ikut mengambil
barang-barang itu.
“Nggak Kak, jangan. Biar aku aja yang ambil.” kata Ara.
“Ara, nggak usah! Biar mereka aja yang ambil.” Kak Farez
mencegah Ara.
“Iya, biar kita aja yang ambil ya, Tya. Nih, udah aku
ambilin.” Kak Erica memberikan beberapa pensil yang dia ambil kepada Ara,
disusul Kak Tya.
Setelah semuanya beres, Kak Tya dan Kak Erica hampir pergi
begitu saja, Kak Farez sedikit membentak mereka.
“Bagus!” seru kak Farez. “Pergi aja langsung. Minta maaf aja
belum. Oh, iya. Maafnya mahal. Ara jangan gitu ya, maafnya jangan mahal.” kata
Kak Farez.
“Maksudnya apa maafnya mahal? Tadi aku udah minta maaf ya!”
kata Kak Erica dengan nada tinggi.
“Sopan dikit bisa?” tanya Kak Farez.
“Yah, Kak. Tadi kan Erica udah minta maaf. Masa cuma
gara-gara jatuhin tempat pensil jadi gini? Kan nggak lucu.” kata Kak Tya.
“Kamu juga. Nggak nyadar gangguin Ara terus? Nggak usah
bawa-bawa Erica juga.” kata Kak Farez ke Kak Tya.
“Kalian gangguin Ara, sama aja kalian ganggu orang yang lagi
ngomong sama kalian.” sambung Kak Farez.
“Maaf Kak, kita nggak ada maksud gitu. Maaf banget Kak. Maaf
Ara.” kata Kak Tya dengan nada bicara yang dibuat-buat agar terlihat seperti
memelas.
“Iya, maaf Kak. Maaf Ara.” sambung Kak Erica.
“Kak, udah lah. Kalo Kak Tya sama Kak Erica nggak minta maaf
juga gapapa. Daripada nggak ikhlas mending jangan.” kata Ara ke Kak Farez.
“Iya Ara.” sahut Kak Farez.
“Ya udah, ngapain kalian masih di sini?” tanya Kak Farez ke
Kak Tya dan Kak Erica. Mereka langsung meninggalkan Ara dan Kak Farez.
Ara dan Kak Farez terdiam sejenak. Kak Farez masih kesal, Ara
berusaha menenangkannya tapi dia sendiri juga masih agak kesal.
“Biarin aja, Kak. Cuekin aja. Orang kaya mereka mau
dibilangin apapun juga percuma. Biarin aja sampai mereka bosen, atau nyesel
sendiri.” kata Ara.
“Iya Ara, aku tau. Tapi nggak gitu juga.” Kak Farez masih
kesal.
“Udah ih, nggak usah di bahas. Gambarnya tanggung loh, kurang
satu step lagi.”
“Ya udah, lanjut aja. Tapi aku nggak mood.”
“Aku yang selesaiin ya. Padahal, ini bagian yang paling seru
loh.”
Ara mengambil sketchbook dan pensilnya.
“Eh, jangan deh, aku juga.”
“Yah, gimana Kak?”
“Iya, iya. Selesaiin bareng aja, Ara cantik.” Kak Farez
mencubit pipi Ara lagi, Ara hanya melihat Kak Farez, kemudian menjelaskan cara
selanjutnya.
“Sekarang, tinggal beri bulu mata. Gambar bulu matanya harus
hati-hati. Soalnya kalau ada satu yang salah terus di hapus, yang lain juga
bakal kehapus. Gambar bulu matanya dibengkokkan bagian bawahnya. Gambarnya
pelan-pelan. Gini, Kak.” Ara menjelaskan sambil memberi contoh. Kemudian Kak
Farez mengikutinya.
“Ara, bantuin.” pinta Kak Farez. Hal kecil yang indah itu
kembali terjadi.
Goresan pensil yang membentuk helai demi helai bulu mata,
deretan bulu mata yang indah terbentuk setelahnya.
“Seru, Ra! Ini paling seru! Keren banget! Aku bisa lagi.” Kak
Farez kagum pada gambar itu. “Ini step terakhir kan, berarti selesai dong
gambarnya?” tanya Kak Farez.
“Eh, belum. Masih ada satu lagi. Ini bikin gambarnya keliatan
makin realistis.” kata Ara.
“Step terakhir, kan? Apa?”
“Iya. Terakhir, beri refleksi bulu mata pada refleksi
matanya.”
“Kaya gini?” tanya Kak Farez.
“Iya, selesai Kak.” Ara tersenyum.
“Hah? Selesai ini?”
“Iya, Kak.”
“Bagus ya, gambar kita.” Kak Farez ikut tersenyum. Kemudian
kedua pasang mata yang indah itu saling bertatapan lagi.
Goresan-goresan pensil yang menari-nari di atas selembar
kertas putih itu kini telah menjadi sebuah karya sederhana, namun indah, dan
penuh cerita. Alur goresan yang menyusun bagian demi bagian sketsa mata sampai selesai.
Tentu saja sketsa itu terlihat realistis. Sketsa mata yang terlihat hidup itu
seakan-akan ikut melihat hal-hal yang terjadi pada sore itu. Sketsa mata itu
menjadi saksi bisu begitu manisnya kedekatan Ara dengan Kak Farez. Sketsa mata
itu juga menjadi saksi bisu betapa tidak menyenangkannya sikap Kak Tya dan Kak
Erica kepada Ara.
Benar memang, setiap gambar menyiratkan sebuah cerita yang
ada di dalamnya.
“Ara! Tadi ada apa? Kaya ada yang ribut di sini? Kedengeran
dari dalam.” Nina muncul dari balik pintu ruang kantor guru, dan langsung
bertanya kepada Ara.
“Nanti aja aku jelasin, udah susulannya Na?” jawab Ara.
“Iya udah. Eh, ada Kak Farez. Syukur deh, jadi ada yang
nemenin Ara.” kata Nina.
“Iya, Na.” sahut Kak Farez.
“Udah sore, pulang yuk!” ajak Ara.
“Ayo pulang, lagian mau ngapain lama-lama di sini?” Nina
bertanya balik. “Eh, tapi beneran jelasin yang tadi, ya, Ra.”
“Iya Nina, aku jelasin kok serius.” Ara meyakinkan Nina.
Senja itu, langit masih kelabu. Tiga pasang kaki melangkah
keluar dari bangunan megah itu. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Membuat
bangunan itu semakin sepi, tetapi akan ramai kembali esok pagi.