EDITED BECAUSE SOME FCKN REASON:') sedih:')
Dan akhirnya lembaran skenario Tuhan tentang kebahagiaanku terbuka lagi setelah lama aku menanti. Ada rasa yang meluap-luap di dalam hati yang telah lama tak merasakannya. Mungkin akan banyak yang heran ketika tahu apa yang sebenarnya aku rasakan, tapi, bukankah kau akan merasa begitu bahagia jika merasakan sebagian dari surga?
Tidak, tidak. Aku belum mau mati saat ini. Aku hanya akan menghabiskan hari-hari liburku di kota lamaku. Aku rasa akan banyak yang bertanya, ‘hanya itu saja?’. Sungguh, jangan pernah tanyakan ‘hanya itu saja?’. Rasakan apa yang aku rasakan dulu, pasti tak akan pernah terucap kalimat tanya itu. Memikirkan kata tanya itu saja tidak, apalagi mengucapkannya.
Bukan hal baru lagi memang jika aku menghabiskan liburanku di kota lamaku. Satu atau dua bulan sekali aku sering mengunjunginya walau hanya dua atau tiga hari saja. Tapi liburan kali ini berbeda. Bayangkan saja, satu bulan penuh aku akan menginjakkan kakiku di kota lamaku. Kota lamaku bukanlah kota Paris, London, Dubai, Sydney, atau kota-kota raksasa lainnya. Kota lamaku hanyalah sebuah kota kecil di tengah pulau terpadat di Indonesia. Kota yang berada di dekat lereng gunung yang tenang dan tidak terlalu jauh dengan lautan di selatan. Kota yang punya sebutan Kota Satria, tapi Satria bukanlah nama kota ini.
Isi kota lamaku memang tak seindah dan semegah kota-kota raksasa yang kusebutkan tadi, tapi kota ini menyimpan begitu banyak hal-hal yang jauh lebih indah dari kota-kota besar tadi. Hal-hal indah yang mungkin hanya aku yang bisa merasakannya. Keramahan dan kesopan santunan orang-orangnya, keindahan alamnya yang masih asri di pinggiran kotanya, cuacanya yang bersahabat dan udaranya yang sejuk, kekhasan kulinernya yang selalu membuat perutku meronta, dan banyak lagi hal-hal yang membuat kota kecil ini terasa seperti sebagian dari surga bagiku. Dan, satu hal yang membuatku tak bisa lepas dari kota kecil ini, semua kenanganku saat aku masih di kota kecil yang sudah tak lagi ku tinggali selama lima tahun ini.
**
“Jadi, besok lo mau balik ke kota lama lo?” tanya Aldi, membuka percakapan setelah aku dan dia menghabiskan makanan di suatu restoran.
“Iya kalo gua boleh balik ke kota lama gua terus tinggal di sana lagi sih gua mau banget.” jawabku. Aku selalu mengatakan harapan yang yang tak akan pernah menjadi kenyataan.
“Eh, liburan maksudnya. Lo beneran sebulan penuh di sana?”
“Enggak apa-apa kan?”
“Ya enggak.”
“Serius ih. Ah, lo mah suka bohong.”
“Iya serius. Percaya sama gua. Ntar gua nyusul ya ke sana, hari Sabtu-Minggu.
“Okay. Makasih ya. Makasih banget. Sabtu-Minggul tanggal 1-2 Juni?”
“Kok makasih? Iya 1-2 Juni.”
“Ya makasih aja, makasih udah izinin gua kembali ke habitat asal gua, tempat yang kaya sebagian dari surga buat gua.”
“Lagian kan lo udah lama enggak ke sana kan? Terus gua mau ke sana juga.”
Aku mengangguk.
“Udah jam 5, lo nggak kesorean? Besok kan lo pergi jam 9. Tiati, ya, besok.”
“Iya. Ya, udah, ayo balik.”
Aldi mengantarku sampai ke rumah. Aku berpamitan dengan satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa sedih sekaligus senang di sini. Pasti aku akan merindukan Aldi saat aku di sana nanti. Besok pagi, aku akan memulai hari-hariku di sana selama satu bulan. Sambil menunggu hari berganti, aku memikirkan apa saja yang akan kulakukan di sana. Memikirkannya saja sudah bahagia, apalagi melakukannnya. Sampai akhirnya aku terlelap.
Hari esok telah datang. Semakin terang sinar mentari, semakin jauh jalan yang kutempuh. Dari fajar menyingsing sampai tengah hari berlalu, akhirnya aku sampai di kota kecilku ini. Sejuk. Mentari tetap bersinar terang di langit biru yang berhiaskan gumpalan awan putih. Tetapi, suhu di kota ini sangat bersahabat.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memandangi langit-langit kamarku. Aku menelfon Aldi, mengabarkan jika aku sudah sampai di kota kecilku ini. Sekaligus melepas rindu dengannya. Dan aku mulai menikmati detik demi detik yang kulalui di kota kecilku ini. Aku ingin bertemu dengan sahabat-sahabatku. Tak perlu semuanya, aku hana sangat ingin bertemu dengan Inne, Indi, Yeva, Selsa, Ozy, dan Kak Tian. Mereka berenam adalah orang-orang yang berhasil membuatku tidak bisa melepaskan diriku dari kota kecilku ini.
**
Akhirnya hari dimana aku bisa bertemu dengan sahabat-sahabatku di kota kecilku ini telah datang. Aku dan sahabat-sahabatku kembali melakukan kebiasaan kita saat aku masih di sini dulu. Tak ada satu rumah kita yang terlewat dikunjungi. Seperti biasa, tempat kita berkumpul pertama kali adalah rumah Inne. Rumahnya memang paling strategis di antara kita.
Sebetulnya aku membawa mobil dan memarkirkannya di halaman rumah Inne. Tapi karena kita ingin bernostalgia, kita menggunakan motor. Seperti tahun-tahun kemarin saat aku belum bisa menggunakan mobil. Petualangan kecil kita hari ini dimulai dari rumah Inne, kemudian ke rumah Yeva, setelah itu ke rumah Indi, rumah Selsa, dan terakhir rumahku.
Aku, Inne, Yeva, Indi, dan Selsa. Kita berlima sudah seperti keluarga. Tak pernah lupa satu sama lain sekalipun jarak dan waktu menjadi pembatas antara kita berlima. Selama kita bertemu tadi, kita saling bertukar cerita satu sama lain. Dari mulai cerita yang membuat gelak tawa, sampai cerita yang membuat mata kita berair. Hanya dengan merekalah aku bisa tertawa dari lubuk hatiku yang paling dalam. Hanya dengan mereka juga aku bisa menuangkan semua kesedihanku dengan air mata, dan mereka mengerti.
Kudengar dari mereka, Kak Tian sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang bernama Rio. Kalau begini, pasti semakin sulit untuk menemuinya. Lalu, kusempatkan untuk mampir ke rumah Kak Tian sebentar. Kulihat sebuah keluarga kecil yang harmonis. Rio sangat lucu, wajahnya mirip seperti Mamanya yang cantik. Dan ternyata, sedang ada Andra, adik Kak Tian yang seumuran dengan kita di rumah itu. Lalu, kulihat reaksi Selsa saat melihat Andra. Ya, Andra adalah orang yang pernah menjadi pengisi hati Selsa lima tahun yang lalu.
Bukan Kak Tian namanya kalau tidak bertanya tentang Ozy padaku setiap kali bertemu denganku. Sebenarnya aku sudah menghubungi Ozy dari minggu lalu, tapi tidak ada respon. Kak Tian mengatakan, Ozy memang sedang sibuk dengan band barunya, jadi tidak sempat untuk melakukan beberapa hal lain. Kalau begitu, mungkin aku bisa bertemu dengan Ozy lain waktu. Tapi, kapan lagi? Haruskah aku tetap menunggu selama itu?
**
Senja di hari Jumat ini hampir usai, mentari seolah mengucapkan selamat tinggal pada hari ini. Aku selalu menikmati langit senja di sini, apalagi hari ini cuaca cerah. Langit berwarna oranye, merah jambu, dan biru serta awan keunguan membuatku tersenyum saat melihatnya. Tiba-tiba ponselku berbunyi, Aldi menelfonku. Dia berkata jika Sabtu pagi dia sudah berada di sini karena dia berangkat malam nanti.
Sesampainya Aldi di sini, aku menemuinya di hotel tempat dia menginap. Lalu memintanya istirahat dulu. Kemudian setelah jam 12, aku dan dia mengisi waktu dengan berjalan-jalan memutari kota kecil ini sampai malam hari. Lalu aku pulang dan dia kembali ke hotelnya. Hari kedua, kita melanjutkan jalan-jalan kemarin. Hampir tengah hari, kita pergi ke sebuah kafe untuk mengisi perut.
Seperti melihat suatu hal menarik yang baru kulihat untuk pertama kalinya, tatapan mataku terpaku pada seseorang dengan kaos hitam lengan panjang dan celana jeans hitam. Dia sedang berdiri di dekat pintu ruangan khusus untuk merokok. Aku tidak bisa mengenali wajahnya dengan jelas karena dia berdiri menyamping dan jarak pintu itu dengan tempatku duduk cukup jauh. Tapi, dia terlihat sangat familiar. Siapa dia?
“Lo liatin apa sih?” tanya Aldi, mengalihkan perhatianku dari orang itu.
“Eh, em… Engga. Cuma liat-liat aja, terus kayanya gua liat temen gua. Tapi nggak tau deh, salah liat kali.” jawabku.
“Oh. Cowo apa cewe?”
“Cowo.”
Aldi terdiam.
“Yah, Al. Gua cuma liat doang, terus belum tentu bener itu temen gua. Baper lo mah.”
“Enggak. Biasa aja.” jawab Aldi datar.
“Ya udah, jangan bete.”
“Enggak bete, Karin.”
“Kalo temen gua beneran, gua mau buktiin sama lo kalo cowo asli sini tuh nggak kaya apa yang ada di otak lo.”
“Ya, udah, mana temen lo?”
“Lo yakin mau ketemu sama temen-temen gua sekarang? Udah hampir jam satu loh. Lo jam empat balik. Nggak mau ketemu lebih lama lagi sama gua di sini, cuma sama gua?”
“Iya, deh.”
Aku dan Aldi kemudian kembali ke hotel tempat Aldi menginap semalam. Lalu membantu Aldi membereskan barang-barangnya. Waktu sangat cepat berlari, jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Aldi berpamitan denganku. Aku mengatakan ini padanya, sudah seperti yang aku katakan beberapa tahun yang lalu, kalau Aldi pasti akan ke sini dan kita pasti akan jalan-jalan di sini hanya berdua. Aldi mengiyakan. Saatnya Aldi kembali ke kotanya, saatnya aku kembali ke rumahku.
Seperti sore-sore sebelumnya, aku selalu menyaksikan mentari yang terbenam di barat. Senja memang telah beranjak pergi, tapi bayangan orang yang kulihat di kafe tadi tak kunjung beranjak pergi dari pikiranku.
**
Hari ini masih pagi, orang-orang rumah sudah sibuk dengan rutinitasnya masing-masing. Tak ada hal yang bisa aku lakukan pagi ini. Aku mencoba bermain dengan pena di atas buku sketsaku, tidak ada ide. Menonton TV, tidak ada acara menarik. Tidur lagi? Sepertinya hanya buang waktu saja. Jarum jam menunjuk angka 9. Aku mencoba menelpon Aldi, tidak ada jawaban. Mungkin dia belum bangun. Ah, sudahlah. Aku hanya duduk diam di sofa, memutar-mutar ponselku, menunggu siang, dan membuang waktu.
Tiba-tiba terbesit di pikiranku suatu hal yang hampir aku lupakan. Rumah itu. Rumah yang pernah kukunjungi, mungkin hanya tiga kali, atau lebih. Tapi tiap kali aku ada di rumah itu, aku menikmati setiap dektiknya. Rumah itu tentu bukan rumahku, tapi aku selalu nyaman saat berada di rumah itu. bukan aku namanya jika lebih nyaman berada di rumah orang daripada di rumahku sendiri. Akhirnya, kuputuskan untuk menghabiskan pagiku di hari ke tujuh belas ini untuk pergi ke rumah itu.
Seiring deru mesin mobil, seiring cepatnya roda yang berputar, semakin dekat jalan menuju rumah itu, semakin pikiranku terkuasai oleh memori tentang rumah itu. Aku mencoba untuk tetap pada konsentrasiku sampai akhirnya aku sampai di samping rumah itu. Rumah itu masih berkeramik merah marun, tetapi pagarnya sudah lebih tinggi dari terakhir kali aku melihat rumah itu, sekitar tiga tahun yang lalu.
Rumah itu sepi, mungkin penghuni kamar paling depan di rumah itu masih terlelap. Teringat dalam memoriku, dari kamar paling depan itu sering terdengar alunan musik keras. Lima tahun yang lalu, saat penghuni kamar paling depan rumah itu memutar musik keras dengan volume yang terlalu keras, lalu ayahnya menegurnya karena ada aku dan sahabat-sahabatku di rumah itu. masih teringat juga saat jemari Kak Tian memetik senar gitar, membuat melodi dengan ritme cepat mengalun, lalu aku dan Ozy menyanyikan bait demi bait lagu di teras rumah itu. Sederhana, biasa, namun membawa kesan yang tak dapat hilang dari memori.
Hampir setengah jam aku di sini, duduk terdiam di dalam mobil yang kuberhentikan tepat di samping rumah itu, membiarkan memori-memori menguasai pikiranku, membiarkan jiwa ini tenggelam dalam lautan kenangan yang terbentuk lima tahun yang lalu. Mungkin sudah cukup aku membiarkan waktuku terbuang di tempat ini. Tapi, bukankah waktu yang kau nikmati saat membuangnya bukanlah waktu yang terbuang sia-sia?
**
Hari ini hari Senin. Hari ini juga Yeva berulang tahun. Umur Yeva sudah dua dekade, itu artinya aku mengenal Yeva sudah hampir delapan tahun. Aku, Inne, Indi, dan Selsa sudah menyiapkan kejutan untuk Yeva beberapa hari yang lalu. Dan kita senang karena kejutan hari ini berhasil. Seperti lima tahun yang lalu saat aku masih di sini.
Setelah itu, kita bercakap-cakap di ruang tamu rumah Yeva yang sudah seperti markas kita. Bukan kita namanya jika setiap bertemu tidak ada yang dibicarakan. Dan tiba-tiba saja arah percakapan menjadi membahas tempat yang ingin dikunjungi.
“Gua pengen ke Nusakambangan deh.” kataku.
“Mau ngapain ke sana?” tanya Indi.
“Ya, jalan-jalan aja. Liat laut, nikmatin pasir putih, siapa tau ada yang nemu teripang lagi. Haha.”
“Lah? Karin, lo cuma mau nemu teripang?” tanya Inne.
“Yakali, Ne. Ya enggak lah, gua lagi kangen aja sama apa yang ada di sini, sama apa yang pernah gua datengin pas gua masih tinggal di sini dulu. Kan jarang-jarang gua bisa sebulan di sini.”
“Lagian ngapain pindah? Kan lo jadi jauh sama kita.”
“Iya, sih. Maaf ya. Maaf banget. Gua enggak bisa nepatin janji gua. Ini udah lima tahun, gua janjinya cuma tiga tahun di sana. Tapi kenyataannya malah kaya gini. Ya, semuanya karena apa yang waktu itu gua jelasin ke kalian.”
“Udah jangan sedih, Rin. Lo kan masih bisa sering balik ke sini, ya kaya sekarang ini.” Yeva menenangkanku.
“Eh, gimana jadinya? Lo mau ke Nusakambangan? Gua sih ayo-ayo aja. Mau kapan?” tanya Indi.
“Minggu depan?” jawabku.
“Okay minggu depan ya, hari apa? Sabtu? Minggu?” tanya Inne.
“Ih, Sabtu-Minggu gua enggak bisa. Kalo Senin?” tanya Selsa.
“Iya gua bisa kok. Ya, udah, Senin ya?” tanyaku.
“Okay. Kumpul di rumah gua aja, kaya biasa. Jam 9 ya, jangan ngaret.” kata Inne.
**
Seperti yang direncanakan minggu lalu, aku dengan sahabat-sahabat terbaikku akan pergi ke tempat yang indah. Pagi ini, aku bergegas pergi ke rumah Inne, markas besar kita. Sepertinya aku sangat tidak sabar. Aku sampai di depan rumah Inne. Begitu aku turun dari mobil, Inne keluar sebentar dan langsung menyuruhku masuk, kemudian dia masuk ke dalam rumah lagi. Karena rumah Inne sudah seperti rumahku sendiri, aku langsung masuk saja ke rumahnya. Tapi, begitu aku sampai di depan pintu, ada seseorang yang langsung menarik perhatianku. benarkah yang kulihat saat ini? Benarkah itu adalah dia?
“Ozy?” antara kaget, senang, sedih, tak percaya, dan rasa yang sulit dijelaskan, aku melihat seseorang yang mengenakan kemeja coklat kemerahan dan celana jeans hitam duduk di sofa ruang tamu rumah Inne. Aku terdiam di depan pintu beberapa detik, meyakinkan diriku bahwa apa yang kulihat adalah suatu kenyataan. Aku tak peduli dengan raut mukaku saat ini, pasti aneh. Menurut bahasa kekinian, saat ini dapat disebut awkward moment.
“Eh, Karin.” sapa Ozy. Dia tersenyum. Senyumnya masih sama seperti dulu. Iya, itu memang benar Ozy. Suaranya juga tak jauh berbeda seperti saat aku bertemu dengannya tiga tahun yang lalu.
Tiba-tiba aku teringat lima tahun yang lalu. Dulu, Ozy sering menemuiku satu jam sebelum aku pergi. Dan kali ini, sehari sebelum aku pergi. Ozy semakin membuatku sulit untuk meninggalkan kota ini.
“Udah jangan berdiri di situ, duduk sini.” suara siapa ini? Sepertinya baru aku dengar. Aku melihat ke sebelah Ozy. Oh, suara Aska, saudara Ozy yang juga sahabatku.
Aku bersalaman dengan mereka berdua. Duduk. Kemudian hening. Akhirnya Aska membuka percakapan.
“Karin, pulang kapan?”
“Hampir sebulan yang lalu.” jawabku datar.
“Ooh, udah lama dong?” tanya Aska. Pertanyaan yang sangat retoris.
“Iya.”
“Karin, maaf nih baru bisa ketemu sekarang. Biasa lah orang sibuk. Hehe.” kata Ozy.
“Sibuk apaan? Susah banget dihubungi sehari, eh, seminggu dah, masih enggak apa-apa. Nah ini hampir tiga tahun. Nggak ngerti lagi gua.” sepertinya aku terlalu frontal kali ini. Tapi tidak apa-apa, kapan lagi aku bisa bicara langsung dengan Ozy. Menghubunginya saja susah, apalagi bertemu langsung.
“Tapi gua sibuk beneran, sih. Maaf banget, Rin.”
“Masa?” aku sedikit tidak percaya.
“Ih, Karin. Beneran, Rin. Tanya aja Aska.”
“Iya Rin. Serius. Dua minggu yang lalu aja abis perform di Society.” kata Aska.
“Society? Society Café? Kapan?” tanyaku.
“Pas tanggal tiga.” jawab Ozy.
“Oohh.” pantas saja saat aku ke kafe itu dua minggu lalu aku seperti melihat Ozy. Tapi, hari itu bukan tanggal tiga. “Dua minggu lalu gua ke sana, pas hari minggu, tanggal dua. Tapi kok gua kaya liat lo, ya?”
“Oh, iya. Tanggal dua gua emang ke sana bentar. Pas sore kan?”
“Berarti emang beneran elo.”
“Kok gua enggak liat elo?”
“Ya mana gua tau.”
“Eh, iya. Mau ke Nusakambangan kan hari ini?” Ozy mengalihkan pembicaraan.
“Iya, kenapa?” aku rasa mungkin Ozy ingin ikut denganku nanti. Semoga saja. Langit akan terasa lengkap jika ada awan. Waktuku di sini juga akan lengkap jika ada Ozy.
“Gua boleh ikut kan?”
“Siapa yang larang?” aku tidak bisa menyembunyikan senyumku.
“Inneeeee! Kariiinnnnn!” terdengar suara Yeva dari luar. Yeva dan Indi ada di depan rumah ini.
“Lah? Kok, Ozy ada di sini?” tanya Indi. “Eh, ada Aska juga.”
“Iya lah ada.” jawab Ozy.
“Ih, tinggal Selsa doang yang belom dateng?” tanya Inne sambil membawa beberapa kemasan makanan ringan dari belakang.
“Iya nih Selsa lama, udah berapa tahun kalo kumpul datengnya paling lelet.” jawab Yeva.
“Telfon gih, udah jam 10 makin siang makin panas ntar.” usul Indi.
“Sini gua telfonin.” kata Inne.
“Ini gimana ceritanya kok lo berdua bisa ada di sini? Mau ikut?” tanya Yeva ke Ozy dan Aska.
“Iya lah gua mau ikut, kalo Ozy mah mau ketemu Karin.” jawab Aska.
“Dih, cerdas kelewatan lo, Zy. Karin besok mau pulang juga.” kata Indi.
“Hah? Pulang? Pulang ke sana?” tanya Ozy.
“Iya lah pulang ke sana, mau pulang kemana lagi? Gua belom mau pulang ke Rahmatullah.” jawabku.
“Yah, lo mah engga bilang-bilang.”
“Gimana mau bilang, lonya juga kaya ditelan bumi aja, dihubungin susah banget.”
“Hai! Hai! Hai! Ayo udah siang berangkat.” tiba-tiba terdengar suara Selsa.
“Udah di sini toh, pantes gua telfon nggak diangkat.”
“Ih, kok ada Ozy sama Aska?” tanya Selsa.
“Udah ntar aja Aska yang ceritain. Udah siang yuk, ah.” kata Inne.
Kita bergegas masuk ke dalam mobilku. Tiba-tiba Ozy berdiri di depan kaca pintu depan mobilku. Mengisyaratkan agar aku membuka kaca pintu.
“Yakin lo nggak mau gua yang bawa mobil lo? Biar lo bisa liat-liat kanan kiri jalan, siapa tau nemu apa gitu.”
“Emang lo bisa bawa mobil?” tanyaku ragu. “Emang gua mau nemuin apaan?”
“Ih, enggak percaya sama gua.”
“Iya deh. Tapi awas aja kalo sampe mobil gua nabrak pohon pas lo bawa.”
“Iya sih, ntar juga bakal nabrak pohon. Nabrak pohon kencur.”
“Lucu lo, Zy.” aku menahan tawaku.
Kita berangkat. Sepanjang perjalanan aku dan Ozy sengaja memutar musik keras. Tidak peduli hafal atau tidak hafal lirik lagunya, kita tetap menyanyikan sebagian lagu-lagu itu. Menikmati setiap dentuman drum yang cepat dan melodi gitar yang terdistorsi. Tak peduli beberapa kalimat protes yang diucapkan oleh Inne, Yeva, Indi, atau Selsa. Sungguh, aku sangat menikmati dua jam perjalanan ini.
Sesampainya di pantai Cilacap, kita bergegas menaiki perahu untuk menyeberang lautan menuju ke pulau Nusakambangan. Seperti enam tahun yang lalu, tapi tidak dengan Ozy, tidak juga dengan Inne, Yeva, Indi, Selsa, dan Aska. Tapi, kali ini, aku bersama mereka. Rasa bahagia meluap-luap di hatiku. Bagaimana tidak? Momen seperti ini sangat jarang terjadi. Lalu kita sampai di Nusakambangan, kita harus berjalan cukup jauh untuk sampai ke pantai kecil yang langsung menghadap laut lepas selatan.
Tak ada tempat lain yang seindah pantai bagiku. Apalagi, pantai dengan pasir putih. Birunya air laut, bebatuan karang yang sedikit lebih tinggi dari ombak yang menyapunya. Kekhasan suara deburan ombak yang tak pernah bosan kudengarkan, yang membuatku selalu merasa tenang dan ada sensasi tersendiri yang sulit untuk kujelaskan. Sungguh indah.
Aku membiarkan jiwaku hanyut dalam kenyamanan ini sejenak. Membiarkan semua hal negatif yang ada padaku dan hidupku hanyut bersama ombak yang menyapu pasir putih. Aku tidak tahu apa nama pantai ini. Yang pasti, ini adalah sebuah pantai kecil yang menghadap laut lepas di selatan. Kedua mataku menatap lautan lepas di depanku yang menjadi bagian dari samudera Hindia ini sampai ke horison yang membatasi biru laut dan biru langit.
Bukan kita namanya jika tak mengabadikan momen-momen seperti ini dengan lensa kamera. Sejak kaki kita menginjak pasir putih ini, sampai sekarang–mungkin sudah satu jam lebih, lensa kamera tak lepas dari kita. Lalu kita duduk di atas butiran pasir putih.
“Zy, kenapa de javu ya. Lima tahun yang lalu, lo ketemu gua sejam sebelum gua pergi. Sekarang sehari sebelum gua pergi. Ya mendingan sih sebenernya, tapi tetep aja kenapa harus kaya gini.”
“Ya, kan, kali ini gua lagi banyak kerjaan, Rin. Maaf sumpah, Rin.”
“Iya gua maklumin, gua maafin kok.”
“Seenggaknya gua masih bisa ketemu lo kan?”
“Iya, gua masih bisa ketemu lo.”
“Betah, Rin, di sana?”
“Ya, betah. Betah karena terpaksa. Maaf ya, gua enggak bisa nepatin janji gua. Gua janjinya gua di sana cuma tiga tahun, tapi kenyataanya…” aku berhenti sejenak, menahan emosiku yang tiba-tiba meluap. Mataku terus mengarah ke lautan lepas, sambil menahan air mataku. “Kenyataannya sekarang udah lima tahun gua di sana. Balik juga sebulan doang kaya gini. Gua sih maunya selamanya tinggal di sini. Tapi ya, sebenernya gua bisa tinggal di sini sampai kapanpun, tapi gua harus ngorbanin satu hal.”
Satu hal: Aldi. Iya, hanya satu orang Aldi. Itulah yang harus aku korbankan. Tapi Aldi telah terlalu banyak membantuku tetap bertahan di sana, di kota baruku. Walaupun Aldi tak jarang membuat air mataku terbuang sia-sia. Seperti berada di antara air dan api.
“Satu hal apa?” Ozy sepertinya benar-benar menyimak penjelasanku.
“Kalo diceritain mah sedih, Zy.” aku tak peduli suaraku sudah terdengar seperti orang menahan tangis. “Lagian lo sih, ngapain coba. Besok gua udah mau balik. Hari ini lo baru ada di depan muka gua. Banyak banget yang mau gua ceritain ke lo, Zy.”
“Gua nggak tau kalo lo mau pulang besok, Rin.” kata Ozy pelan.
Ozy menatapku. Aku menatap lautan lepas. Rasanya aku ingin berteriak dan membiarkan suara deburan ombak mengalahkan teriakanku. Lalu kulihat Ozy menuliskan sesuatu di atas pasir putih dengan jarinya. I’m sorry. Aku membacanya, lalu mengangguk. Kemudian dia menulis lagi. Next time, I’ll never meet you one hour before you go, or one day before you go. Aku rasa, Ozy sedang melihatku, tapi aku tidak mau dia melihat mataku yang berair. Aku terus menunduk dan membalasnya, really?. Lalu Ozy membalas lagi, I’ll try. I’ll meet you from the first day. Kemudian aku membalasnya dengan menggambar emotikon :). Setelah itu, hening.
Suara deburan ombak mengisi keheningan di antara aku dan Ozy. Beberapa detik, beberapa menit. Waktu kubiarkan berlalu seperti pasir putih yang tersapu ombak, terbawa ke dasar laut yang lebih dalam, kemudian tergantikan oleh pasir putih lainnya. Sampai mataku sudah tidak berair lagi, aku mencoba untuk membuka percakapan lagi.
"Eh, iya, Zy. Dua minggu yang lalu, pagi-pagi gua lewat di depan rumah lo."
"Kenapa enggak mampir?"
"Gue udah berhenti lama di samping rumah lo, tapi rumah lo sepi banget. Lo masih tidur?"
"Ngapain berhenti doang? Yah, Rin. Kaya lo nggak tau gua aja. Lain kali mampir aja, pintu rumah gua selalu terbuka lebar kok buat lo. Bilang gua dulu mau ke rumah gua biar gua bangun. Hehe."
"Iya kalo gua dapet libur banyak terus ke sini lagi ya. Lagian lo susah banget dihubungin."
"Besok-besok gua udah gampang di hubungin kok. Lo tenang aja. Eh, iya, lo berhenti di samping rumah gua lama?"
"Setengah jam ada kali. Kurang kerjaan banget gua. Hahaha"
"Pea dah. Hahaha."
“Zy, lo sibuk ngeband sekarang? Band lo baru?”
“Iya, Rin. Udah dua tahun gua fokus sama band gua yang baru. Eh, malah banyak yang suka sama band gua. Ya, syukurlah. Lumayan tiap ada gig sering diundang ikutan. Rencananya sih, bulan depan mau nyoba bikin single sendiri. Doain aja biar bisa lancar.” jelas Ozy.
“Lo gitaris apa vokalis?”
“Gitaris.”
“Kenapa enggak vokalis? Suara lo kan bagus.”
“Ah, gua lebih suka sama gitar.”
“Lebih suka sama gitar apa suka malu kalo nyanyi keras-keras di depan orang banyak? Iyakan?” tanyaku sedikit meledek Ozy.
“Ya, ya, itulah.” Ozy sedikit salah tingkah.
“Hahaha.”
Ozy sekarang sudah sedikit berbeda dibandingkan Ozy yang kulihat tiga tahun yang lalu. Aku rasa dia sudah sedikit lebih tinggi. Postur tubuhnya juga sudah berbeda. Jalan pikirannya juga sudah lebih dewasa. Tapi, sifatnya yang sedikit pemalu, cara bicaranya, dan tidak jelasnya masih sama seperti dulu.
“Eh, Zy. Kalo gua bantu bikinin lagunya boleh nggak?”
“Siapa yang ngelarang? Boleh-boleh aja kali.”
“Rin, lo lengkapin band gua dong. Main keyboard atau synth.”
Ozy tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya padaku di sana, dan mungkin tidak akan pernah tahu. Karena aku tidak akan pernah mengatakannya. Kembali tinggal di sini adalah suatu ketidakmungkinan yang terus kuharapkan. Sama halnya seperti ikut bermain band lagi. Entahlah, mungkin memang tidak bisa lagi, atau mungkin kebahagiaanku ini dirampas oleh orang lain. Sudahlah, yang pasti sudah tidak ada harapan lagi. Kecuali jika Tuhan mengabulkan doaku. Semoga dikabulkan, secepatnya.
“Iya kalo gua tinggal di sini lagi.”
“Kalo gitu, gua ke Jakarta aja dah, sekalian debut nasional. Asik.”
“Debut langsung internasional aja. Nggak usah pake ke Jakarta-Jakartaan. Ribet. Lagian genre musik keras kaya gini lebih dihargai di negeri orang.”
“Yakali langsung internasional, emangnya ke luar negeri segampang itu apa? Tapi, kalo gua ke Jakarta kan seenggaknya gua bisa bareng sama lo.”
“Zy,” aku terdiam sejenak, merangkai kata-kata di otakku agar aku tidak mengatakan bahwa aku sudah tidak bisa ikut dalam semua macam band. Padahal, itulah hobiku yang paling membuatku bahagia. “Mending lo ke Bandung aja, abis dari situ langsung dah nyoba ke luar negeri.”
“Iya, gua coba dah nanti.”
Kita saling bertukar cerita sampai senja hampir datang. Kita pulang. Hari ini, kenangan tentang satu hari terakhir liburanku kali ini telah terbentuk. Di bawah langit berwarna oranye dengan awan keunguan, aku sangat bersyukur. Hari terakhir liburanku kali ini berakhir indah.
**
Aku tak punya segalanya, tapi aku seperti punya segalanya. Tak ada yang sempurna di dunia ini, tapi hidupku terasa sempurna. Semua itu karena orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku. Di kota Satriaku ini ada Ozy, Inne, Indi, Yeva, Selsa, Kak Tian, Aska, dan masih banyak lagi sahabatku yang lain, tak bisa kusebutkan satu per satu. Di kota baruku, ada Aldi dan sahabat-sahabatku yang lain. Merekalah yang membuat hidupku terasa sempurna.
Memori tentang kebahagiaanku di kota ini terbentuk lagi. Sudah pasti aku takkan pernah bisa melupakannya. Aku kembali merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hatiku. Seakan-akan aku mendapat kembali setengah nyawaku yang pernah hilang. Ada satu ketidakmungkinan yang terus kuharapkan, jika aku dapat tinggal di kota kecil ini lagi, hidupku begitu sempurna.
Walaupun aku bertemu dengan Ozy satu hari sebelum aku pergi, setidaknya aku telah mendapatkan liburanku yang sempurna di tempat yang seperti sebagian dari surga ini. Dan lembaran skenario Tuhan tentang kebahagiaanku berganti menjadi lembaran baru lain. Entah apa isi lembaran baru itu. Di dalam lubuk hatiku, aku berharap, semoga masih tentang kebahagiaanku lagi.