When
You're Back
"Min Hwa, aku harus berangkat ke Amerika
sekarang. Kau baik-baik saja ya di sini." Jason berpamitan.
"Iya, oppa. Oppa juga, di sana harus baik-baik
saja."
"Iya, tentu saja. Oh, ya, jangan lupa kau
rawat semua benda-benda dariku ya!"
"Baik oppa, aku pasti akan menjaganya."
"Oke. Aku berangkat ya, kau jangan menangis.
Aku pasti akan kembali lagi kok!"
Min Hwa mengangguk. Jason masuk ke dalam mobil yang
terparkir di depan halaman rumah Min Hwa.
"Jason oppa, cepat kembali ya!" seru Min
Hwa dari halaman rumahnya.
Jason yang ada di dalam mobil tersenyum dan
melambaikan tangannya. Suara mesin mobil mulai menderu. Dia pun memulai
perjalanannya ke Amerika, tempat dia dilahirkan.
Min Hwa yang dari tadi menahan tangisnya langsung
masuk ke dalam rumah sambil menangis. Ibunya akan menyusul untuk menenangkan
gadis berusia 11 tahun itu, tapi Min Hwa tidak mau. Min Hwa akan belajar untuk
mengatasi sendiri rasa sedihnya itu. Dia pun memulai hari-hari tanpa Jason,
sahabat sekaligus tetangganya dari kelas 1 SD yang kini harus meninggalkan
Korea Selatan untuk kembali ke tanah kelahirannya, Amerika.
***
Hari ini semua anak sekelasku sedang heboh
membicarakan seperti apakah itu anak baru pindahan dari Amerika yang akan masuk
ke sekolahku, lebih tepatnya lagi ke kelasku. Tapi aku tidak terlalu
menghiraukannya. Yang penting kalau dia orangnya asik, aku akan terima dengan
baik. Kalau tidak, ya tidak. Akan ku biarkan saja, selama itu tidak ada
pengaruhnya bagiku.
Oh, ya! Aku Kang Min Hwa, siswi kelas 10 Cheong Da
High School. Aku sudah satu semester bersekolah di sini. Pagi ini aku sedang
menyusuri koridor sekolahku sambil membawa setumpuk buku titipan dari Pak Lee,
guru Fisika yang tentu saja berat. Hanya karena aku sedang berjalan di depan
kantor guru sendirian, aku jadi dititipi buku sebanyak ini. Tiba-tiba
handphone-ku berbunyi. Ada pesan dari Dae Young, sahabatku. Aku membacanya. Oh,
tidak! Aku harus cepat-cepat memberikan setumpuk buku ini ke anak-anak kelasku.
BRUKKK!
"Oh, tidak!" aku bertabrakan dengan seseorang.
Buku-buku yang sedang kubawa berhamburan kemana-mana. Aku langsung merapikan
buku-buku itu.
"Oh, sorry! Maaf, maaf. Aku tidak
sengaja," kata orang yang menabraku itu sambil ikut merapikan buku-buku
itu.
"Iya, oke. Tidak apa-apa."
Setelah semua buku itu rapi, aku dan orang itu
sama-sama berdiri.
"Terimakasih ya," kataku sambil mencoba
melihat wajahnya.
"Iya, aku juga minta maaf." dia
menatapku. Aku juga menatapnya, rasanya aku mengenalnya dan sudah pernah
melihatnya sebelumnya. Tapi, siapa? Aku melihat bed namanya.
"Ja, Jason Kim. Jason oppa?" gumamku
sambil terus menatap laki-laki yang ada di depanku ini.
"Betul sekali! Terimakasih Tuhan, Kang Min Hwa
masih mengingatku." Jason tersenyum lebar.
"Benar kau Jason oppa?" aku masih sedikit
ragu. Bagaimana tidak, sudah lima tahun aku tidak melihatnya. Tentu dia sudah
jauh berbeda dari dulu. Dulu, terakhir kali aku melihatnya, dia masih kelas 5
SD.
"Iya, aku Jason Kim yang dulu tetanggamu! Dan
sekarang akan menjadi tetanggamu lagi." Jason oppa memegang bahuku.
Aku tersenyum, kemudian tertawa, dan tak terasa air
mataku menetes karena aku terharu. Iya, aku sangat bahagia bisa melihat Jason
oppa lagi.
"Kenapa kau menangis?" tanya Jason oppa.
"Aku membuatmu sedih ya?"
Aku menggeleng. "Bukan itu, oppa. Jason oppa malah
membuatku bahagia. Saking bahagianya, air mataku sampai menetes." jawabku.
"Syukurlah kalau aku membuatmu bahagia. Tapi,
kau jangan menangis, oke?"
"Iya, aku tidak menangis, tapi terharu."
Aku mengelap air mataku. Aku sampai lupa kalau aku harus segera menyerahkan
setumpuk buku ini ke anak-anak kelasku.
"Oh, ya ampun! Oppa, aku harus cepat
mengantarkan setumpuk buku ini ke kelasku. Aku pergi dulu, ya?"
"Tunggu, biar ku bantu saja." Jason oppa
mengambil sebagian besar buku-buku yang ada di tanganku.
"Apa tidak apa-apa, oppa?"
"Iya, tidak apa-apa. Ayo cepat! Kelasmu di
mana?"
"Kelas 10-5, di atas. Nanti ku tunjukkan
jalanya."
Kami mulai berjalan cepat menyusuri koridor.
Tiba-tiba Jason oppa mengagetkanku.
"Min Hwa!"
"Eh, iya, oppa?"
"Kelasmu benar 10-5?" tanyanya.
"Iya, benar oppa. Memangnya kenapa?" aku
berbalik tanya.
"Itu kelasku juga. Sungguh!" jawab Jason
oppa.
Jason oppa sekelas denganku? Ya Tuhan, aku senang
sekali mendengarnya. Tidak lama kemudian, aku dan Jason oppa sampai di depan
kelas kami. Aku masuk ke dalam lebih dulu, tentu saja aku langsung diprotes
oleh teman-temanku karena aku sampai lama sekali. Tapi, begitu Jason oppa
masuk, mereka langsung diam dan terbengong-bengong.
Setelah meletakkan buku di meja guru, aku pun
melancarkan aksiku dengan mengenalkan Jason oppa di depan seluruh anak kelas
10-5. Aksiku langsung memecahkan rasa penasaran semua anak-anak kelasku tentang
anak baru yang sedang heboh dibicarakan itu. Jason oppa memang memiliki wajah
yang tampan, pantas saja setelah aku mengenalkan Jason oppa, banyak anak-anak
perempuan yang terlihat terpesona dan langsung membicarakan Jason oppa. Haha,
Jason oppa juga cukup bisa membuatku meleleh. Eh, tapi aku dan Jason oppa
adalah sahabat kok!
Sampai suatu hari, waktu aku dan Jason oppa sedang
duduk-duduk di teras rumahku, dia mengatakan sesuatu kepadaku.
“Min Hwa, aku merasa kita bukan hanya sekedar
sahabat saja,”
“Kenapa? “ tanyaku bingung.
“Begini saja, aku menganggapmu bukan hanya sebatas
sahabat biasa saja, tetapi lebih dari itu. Aku merasakan ini sejak aku kembali
ke sini. Aku suka denganmu, Min Hwa.”
Ya Tuhan, Jason oppa sungguh membuatku bingung,
sangat bingung. Aku harus bagaimana? Aku sebenarnya juga menyukai Jason oppa,
tetapi aku tidak mau kalau sampai akhirnya persahabatan kami hancur hanya
karena rasa cinta. Seperti kisah-kisah yang sudah pernah ada dan sering aku
jumpai. Sungguh! Aku tidak mau!
“Tapi oppa, kurasa waktunya belum tepat. Aku masih
ingin kita bersahabat dulu. Soal itu, dipikir nanti saja ya?” aku memberanikan
diri mengatakan seperti ini kepada Jason oppa. “Aku tidak mau kalau setelah
itu, kita tidak bisa menjaga persahabatan baik kita yang sudah ada dari dulu,
dari kita kelas 1 SD. Aku benar-benar
tidak mau.” lanjutku.
“Baiklah, aku mengerti kok. Oke, kita bersahabat
dulu saja ya? Tapi bersahabatnya seperti orang pacaran, ya?” Jason oppa
mencubit pipiku.
“Oppa! Kau itu!” aku balas mencubit pipi Jason
oppa. Akhirnya kami berkejaran di halaman, seperti apa yang sering kami lakukan
dulu.
Soal perasaan yang lebih dari sahabat, atau lebih
mudahnya cinta yang kami rasakan, entahlah. Biarkan saja takdir yang akan
mengaturnya. Yang penting kami sudah menjadi sahabat lagi. Sahabat sejati yang
akan selalu ada di setiap suka dan duka. Sahabat sejati yang takkan mudah
tergoyahkan hanya karena rasa cinta yang tak mau diajak kompromi. Dan
bagaimanapun juga, kami akan tetap menjadi sahabat, semoga selamanya, sampai
hidup ini berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar