BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masa Pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama)
1.
Presiden Soekarno
Dr.(HC)
Ir. Soekarno (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966.
Beliau memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda. Beliau adalah Proklamator
Kemerdekaan
Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan beliau sendiri yang menamainya.
2.
Masa Orde Lama
Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang
dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
yang ditandai dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan
Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama yaitu sebagai
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam
suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional
kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun
1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan
Pemberontakan PKI 1965.Pada masa orde lama banyak sekali terjadi
perubahan-perubahan system pemerintahan dan gejolak-gejolak serta pemberontakan
akibat dari system pemerintahan yang tidak stabil tersebut.
a.
Keragaman Ideologi Partai Politik di Indonesia
Maklumat Politik 3 November 1945,
yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta, hadir sebagai sebuah peraturan dari
pemerintah Indonesia yang bertujuan mengakomodasi suara rakyat yang majemuk.
Akibatnya, munculah partai-partai politik dengan berbagai ideologi.
Partai-partai politik tersebut mempunyai arah dan metode pergerakan yang
berbeda-beda.
Di antaranya adalah partai politik berhaluan nasionalis, yaitu PNI penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan Gabungan Republik Indonesia yang berdiri pada 29 Januari 1946, dipimpin oleh Sidik Djojosukaro.
Di antaranya adalah partai politik berhaluan nasionalis, yaitu PNI penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan Gabungan Republik Indonesia yang berdiri pada 29 Januari 1946, dipimpin oleh Sidik Djojosukaro.
Kemunculan partai-partai berhaluan
sosialis-komunis pada awalnya merupakan bentuk pertumbuhan demokrasi di
Indonesia. Namun, seiring perkembangannya, partai ini menerapkan cara
revolusioner yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
b.
Hubungan antara KNIP dan Lembaga Pemerintahan
Dilatarbelakangi oleh berbagai
situasi negara yang genting, seperti keadaan Jakarta di awal 1946, yang sangat
rawan oleh teror dan intimidasi pihak asing , mengharuskan para petinggi bangsa
untuk memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 untuk
sementara waktu.
Pada dasarnya, posisi wewenang KNIP
dikukuhkan melalui Maklumat X, 16 Oktober 1945, yang memberikan kuasa
legislatif terhadap badan tersebut. Dengan maklumat itu, KNIP yang dibentuk
pada 22 Agustus 1945, berposisi seperti layaknya Dewan Perwakilan Rakyat untuk
sementara waktu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Tugas Komisi Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) adalah membantu dan menjadi pengawas kinerja presiden dalam melaksanakan
tugas pemerintahan. KNIP mempunyai kuasa untuk memberikan usulan kebijakan
kepada presiden dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Sementara itu, Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID) bertugas untuk membantu dan mengawasi jalannya kinerja
pemerintahan di tataran lebih rendah daripada presiden, seperti gubernur dan
bupati.
c.
Hubungan antara Keragaman Ideologi dan Pembentukan Lembaga
Kepresidenan
Terdapatnya keragaman ideologi yang
terbagi ke dalam golongan nasionalis, agama, dan sosialis-komunis pada era awal
kemerdekaan ternyata mengandung implikasi yang signifikan terhadap struktur kepemimpinan
negara. Perubahan otoritas KNIP dan munculnya berbagai partai politik di
Indonesia menjadi dua katalisator utama terhadap perubahan struktur kekuasaan
pemerintahan. Naiknya Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri Indonesia juga
memiliki andil dalam perubahan itu.
Lembaga kepresidenan sendiri telah
dibentuk pada 2 September 1945, pada kesempatan itu, Presiden Soekarno
membentuk susunan kabinet sebagai pelaksana eksekutif dari lembaga kepresidenan
Indonesia. Hal itu merupakan manifestasi dari penguatan lembaga kepresidenan
untuk dapat melaksanakan tugas negara dengan optimal.
Susunan kabinet yang dibentuk pada 2 September 1945, pada dasarnya, mencerminkan komposisi yang mewakili keragaman ideologi di Indonesia. Meskipun partai-partai politik baru bermunculan, setelah dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945, kondisi keragaman ideologi ini telah berperan besar dalam susunan lembaga kepresidenan negara.
Susunan kabinet yang dibentuk pada 2 September 1945, pada dasarnya, mencerminkan komposisi yang mewakili keragaman ideologi di Indonesia. Meskipun partai-partai politik baru bermunculan, setelah dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945, kondisi keragaman ideologi ini telah berperan besar dalam susunan lembaga kepresidenan negara.
d.
Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5
Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante,
diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara
1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar
pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya
konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai
sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal
5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab
menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak
memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini
yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini
berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai
oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah
yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar,
tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas
objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara
baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian
muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin”
dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut
ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah
membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya
melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya
pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962)
dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi
dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur
mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita
bayar tingggi berupa :
1. Gerakan separatis pada tahun 1957
2. Konflik ideologi yang tajam yaitu antara
Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan
Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara
Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam
kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian
menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro
memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis
Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit
Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
e.
Penyimpangan-penyimpangan Politik Pada Masa Orde Lama
Beberapa
penyimpangan Politik Masa Orde Lama:
· Pancasila diidentikkan dengan Nasakom
· Produk hukum yang setingkat dengan undang-undang (UU)
ditetapkan dalam bentuk penetapan presiden (penpres) daripada persetujuan
· MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup
· Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955
· Presiden menyatakan perang dengan Malasya
· Presiden menyatakan Indonesia keluar dari PBB
· Hak Budget tidak jalan
Penyimpangan
lain dalam demokrasi terpimpin adalah campur tangan presiden dalam bidang
Yudikatif seperti presiden diberi wewenang untuk melakukan intervensi di bidang
yudikatif berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang jelas bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan
Presiden No.14 tahun 1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat mengenai
suatu hal atau sesuatu rancangan Undang-Undang.
Selain
itu terjadi penyimpangan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan
pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang memakai
Dekrit 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum. Didirikan pula badan-badan ekstra
kontitusional seperti ‘front nasional’ yang ternyata dipakai oleh pihak komunis
sebagai arena kegiatan, sesuai denga taktik komunisme internasional yang
menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya
demokrasi rakyat.
Pada
masa ini terjadi persaingan antara Angkatan Darat, Presiden, dan PKI.
Persaingan ini mencapai klimaks dengan meletusnya perisiwa Gerakan 30 September
1965 yang dilakukan oleh PKI.
f.
PKI Pada Masa Orde Lama
Partai
Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno
dengan hangat dengan anggapan bahwa PKI mempunyai hak untuk menyelesaikan
persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu, yaitu antara
ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Nasakom
adalah singkatan Nasionalis, Agama dan Komunis, dan merupakan konsep dasar
Pancasila pada masa pemerintahan orde lama. Konsep ini diperkenalkan oleh
Presiden Soekarno yang menekankan adanya persatuan dari segala macam ideologi
Nusantara untuk melawan penjajahan, dan sebagai pemersatu Bangsa untuk Revolusi
rakyat dalam upaya memberantas kolonialisme Indonesia.
Ia
melihat bahwa nasionalisme dan Islam merupakan paham-paham yang kurang tajam
untuk menganalisis keadaan, karena itulah dibutuhkan faham komunisme untuk
menyokong dua ideologi tersebut untuk membangun Indonesia.
Tetapi
kedekatan dengan PKI malah menjadi bumerang tersendiri. Serta merta pihak PKI
melakukan pemberontakan menuju Indonesia komunis. Sehingga bencana nasional
berupa G30S PKI 1965 terjadi dan mengakhiri pemerintahan Sukarno yang diktator
dengan model ‘terpimpin’nya. Pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan kekuasaan
digantikan oleh Soeharto.
g.
Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan,
Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai
politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16
Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang
Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol
meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan
dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur
tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada
tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari
pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut : PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO,
Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada
tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol
dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik
ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.
Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
0 komentar:
Posting Komentar