A.
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru)
1.
Presiden Soeharto
Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden
Indonesia yang kedua (1967-1998),
menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling
General" (bahasa
Indonesia: "Sang Jenderal
yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers
dalam setiap acara resmi kenegaraan.
Sebelum
menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang
dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan
30 September,
Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin
operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto
kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden
pada tahun 1968. Beliau dipilih kembali oleh MPR
pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan
diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan
Mei 1998 dan pendudukan
gedung DPR/MPR
oleh ribuan mahasiswa. Beliau merupakan orang Indonesia terlama dalam
jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan
Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang
disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai
kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan
warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan
jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha untuk mengadili Soeharto gagal
karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan,
beliau wafat karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
2.
Masa Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi
total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde
Lama.Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia
resmi menjadi anggota PBB kembali.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai
tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi
tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan
ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir
serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
a.
Konfigurasi Politik Era Orde Baru
Peristiwa yang lazim disebut
Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde
dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno
dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara
dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media
pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah
sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang
dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI
berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai
partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru.
Pada masa Orde Baru pula
pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk
mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut
dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah
dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus
mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir
sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik
dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting
yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI
dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP
MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa hasil konsensus tersebut
antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam
keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah
Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang
memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan
dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga
melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh
ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah
dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat.
Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua,
masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai
politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang
dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini
didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar
merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan,
yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada
kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional.
Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam
kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya
sebagai “Political Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali
ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus
dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu
stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap
membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya
kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep
penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai
yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik
dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama
pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
b.
Puncak Masa Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden
Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya
bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis.
Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat)
diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi
sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada
masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara
donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada
tahun 1992, IGGI dihentikan
oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam
negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran
IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu,
Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada
dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang
bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang
mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta
buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN)
pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional
terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami
swasembada beras pada tahun 1984.
Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati
negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden
Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik
sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Karya
(Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dalam upayanya
menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik
masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada
jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan
politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam
kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di
mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam
setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat
diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf
pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah
berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan
politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
c.
Tindakan-tindakan Represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai
penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa
tertulis di berbagai material tertulis,
dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang
pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang
beretnis Tionghoa.
Pada tahun 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi
yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum.
Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut.
Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol
militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada
saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi
berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok
nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada tahun 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui
pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983,
1988, 1993, dan 1998.
Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh
mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua
partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan
Pembangunan, sementara partai-partai
non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan
menjadi Partai Demokrasi
Indonesia.
Pada tahun 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia
memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah
Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta
kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang
campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah
tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut
kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer,
politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan
pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara
satu partai, beberapa pemimpinnya
dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia
Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi
HAM PBB membuat resolusi yang
mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi
manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton
mendukungnya.
Pada tahun 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), salah satu dari tiga
partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang
dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh
Juli).
d.
Kejatuhan
Presiden Soekarno
Pada tahun 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai
30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi
pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang
juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk
tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003,
terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih
kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998.
Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta
berpuncak pada pendudukan gedung
DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya
ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era
Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa apa yang
dilakukan IMF di Indonesia tidak
lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan Soeharto. Sebagaimana dikutif
New York Times, Camdesus menyatakan “we created the conditions that obliged
President Soeharto Left his job"
Di Credentials Room, Istana
Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan
pidato yang terakhir kali, demikian:
“Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan
cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk
mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas
dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong
oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan
konstitusional.
Demi
terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan
nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah
susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini
menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya
tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam
keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya
menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan
susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan
memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk
dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh
karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara
sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi
yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan
saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari
Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan
saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan
saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan
silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ
Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR
1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan
bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada
kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya
dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai
hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya
ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk
menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari
kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara
wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di
hadapan Mahkamah Agung RI.”
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto
menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah
melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan
presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto,
pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang
turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama, Menteri
Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan
pernyataan sikap, demikian:
·
Pertama,
memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan
menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta
berdasarkan konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai
Presiden RI.
·
Kedua,
ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah
sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI
akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang
dapat mengancam keutuhan bangsa.
·
Keempat,
menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga
keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak
Soeharto beserta keluarganya.
·
Kelima,
ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan
dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
e.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Masa Orde Baru
·
Perkembangan GDP per kapita Indonesia
yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
·
Pengangguran minimum
·
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
yang dimulai sejak tahun 1969
·
Sukses Gerakan Wajib Belajar
·
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·
Sukses keamanan dalam negeri
·
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
·
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta
produk dalam negeri
f.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Masa Orde Lama
·
Maraknya korupsi, kolusi, nepotisme
·
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan
timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan
karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
·
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah
karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
·
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para
transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya
·
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi
(terutama masyarakat Tionghoa)
·
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
·
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh
banyak koran dan majalah yang dibredel
·
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan,
antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
·
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan
ke pemerintah/presiden selanjutnya)
·
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia]
·
Menurunnya kualitas tentara karena level elit
terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
·
Lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang
oleh swasta
g.
Partai Politik Dalam Masa Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai
dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha
pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai
langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi
belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia
(PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI,
Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret
1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi
Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba
yang berbasis Nasional. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok
Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti yang
berbasis Islam. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah
satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya.
Dengan adanya pembinaan terhadap
parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai
wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam
Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada
masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2
parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu
memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh
penguasa saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar